SUPRIYANTO PEMATANG PASIR
DUSUN SIDOMUKTI DESA PEMATANG PASIR KECAMATAN KETAPANG KABUPATEN LAMPUNG SELATAN
Jumat, 15 Maret 2013
Jumat, 13 Mei 2011
kitane alias nyong samimawon kula ra bedo aku
Rabu, 06 April 2011
Ki SEMAR
Artinya : Mengembani sifat membangun dan melaksanakan perintah Allah demi kesejahteraan manusia
Filosofi, Biologis Semar
Javanologi : Semar = Haseming samar-samar (Fenomena harafiah makna kehidupan Sang Penuntun). Semar tidak lelaki dan bukan perempuan, tangan kanannya keatas dan tangan kirinya kebelakang. Maknanya : “Sebagai pribadi tokoh semar hendak mengatakan simbul Sang Maha Tumggal”. Sedang tangan kirinya bermakna “berserah total dan mutlak serta selakigus simbul keilmuaan yang netral namun simpatik”.
Domisili semar adalah sebagai lurah karangdempel / (karang = gersang) dempel = keteguhan jiwa. Rambut semar “kuncung” (jarwadasa/pribahasa jawa kuno) maknanya hendak mengatakan : akuning sang kuncung = sebagai kepribadian pelayan.
Domisili semar adalah sebagai lurah karangdempel / (karang = gersang) dempel = keteguhan jiwa. Rambut semar “kuncung” (jarwadasa/pribahasa jawa kuno) maknanya hendak mengatakan : akuning sang kuncung = sebagai kepribadian pelayan.
Semar sebagai pelayan mengejawantah melayani umat, tanpa pamrih, untuk melaksanakan ibadah amaliah sesuai dengan sabda Ilahi. Semar barjalan menghadap keatas maknanya : “dalam perjalanan anak manusia perwujudannya ia memberikan teladan agar selalu memandang keatas (sang Khaliq ) yang maha pengasih serta penyayang umat”.
Kain semar Parangkusumorojo: perwujudan Dewonggowantah (untuk menuntun manusia) agar memayuhayuning bawono : mengadakan keadilan dan kebenaran di bumi.
ciri sosok semar adalah
Semar berkuncung seperti kanak kanak,namun juga berwajah sangat tua
Semar tertawannya selalu diakhiri nada tangisan
Semar berwajah mata menangis namun mulutnya tertawa
Semar berprofil berdiri sekaligus jongkok
Semar tak pernah menyuruh namun memberikan konsekwensi atas nasehatnya
Kebudayaan Jawa telah melahirkan religi dalam wujud kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa, yaitu adanya wujud tokoh wayang Semar, jauh sebelum masuknya kebudayaan Hindu, Budha dan Isalam di tanah Jawa.
Dikalangan spiritual Jawa ,Tokoh wayang Semar ternyata dipandang bukan sebagai fakta historis, tetapi lebih bersifat mitologi dan symbolis tentang KeEsa-an, yaitu: Suatu lambang dari pengejawantahan expresi, persepsi dan pengertian tentang Illahi yang menunjukkan pada konsepsi spiritual . Pengertian ini tidak lain hanyalah suatu bukti yang kuat bahwa orang Jawa sejak jaman prasejarah adalah Relegius dan ber keTuhan-an yang Maha Esa.
Dikalangan spiritual Jawa ,Tokoh wayang Semar ternyata dipandang bukan sebagai fakta historis, tetapi lebih bersifat mitologi dan symbolis tentang KeEsa-an, yaitu: Suatu lambang dari pengejawantahan expresi, persepsi dan pengertian tentang Illahi yang menunjukkan pada konsepsi spiritual . Pengertian ini tidak lain hanyalah suatu bukti yang kuat bahwa orang Jawa sejak jaman prasejarah adalah Relegius dan ber keTuhan-an yang Maha Esa.
Dari tokoh Semar wayang ini akan dapat dikupas ,dimengerti dan dihayati sampai dimana wujud religi yang telah dilahirkan oleh kebudayaan Jawa .
Gambar tokoh Semar nampaknya merupakan simbol pengertian atau konsepsi dari aspek sifat Ilahi, yang kalau dibaca bunyinya katanya ber bunyi:
Semar (pralambang ngelmu gaib) – kasampurnaning pati.
Gambar kaligrafi jawa tersebut bermakna :
Bojo sira arsa mardi kamardikan, ajwa samar sumingkiring dur-kamurkan Mardika artinya “merdekanya jiwa dan sukma”, maksudnya dalam keadaan tidak dijajah oleh hawa nafsu dan keduniawian, agar dalam menuju kematian sempurna tak ternodai oleh dosa. Manusia jawa yang sejati dalam membersihkan jiwa (ora kebanda ing kadonyan, ora samar marang bisane sirna durka murkamu) artinya : “dalam menguji budi pekerti secara sungguh-sungguh akan dapat mengendalikan dan mengarahkan hawa nafsu menjadi suatu kekuatan menuju kesempurnaan hidup”.
Filsafat Ha-Na-Ca-Ra-Ka dalam lakon Semar Mbabar Jati Diri
Dalam Etika Jawa ( Sesuno, 1988 : 188 ) disebutkan bahwa Semar dalam pewayangan adalah punakawan ” Abdi ” Pamomong ” yang paling dicintai. Apabila muncul di depan layar, ia disambut oleh gelombang simpati para penonton. Seakan-akan para penonton merasa berada dibawah pengayomannya.
Simpati para penonton itu ada hubungannya dengan mitologi Jawa atau Nusantara yang menganggap bahwa Semar merupakan tokoh yang berasal dari Jawa atau Nusantara ( Hazeu dalam Mulyono 1978 : 25 ). Ia merupakan dewa asli Jawa yang paling berkuasa ( Brandon dalam Suseno, 1988 : 188 ). Meskipun berpenampilan sederhana, sebagai rakyat biasa, bahkan sebagai abdi, Semar adalah seorang dewa yang mengatasi semua dewa. Ia adalah dewa yang ngejawantah ” menjelma ” ( menjadi manusia ) yang kemudian menjadi pamong para Pandawa dan ksatria utama lainnya yang tidak terkalahkan.
Oleh karena para Pandawa merupakan nenek moyang raja-raja Jawa ( Poedjowijatno, 1975 : 49 ) Semar diyakini sebagai pamong dan danyang pulau Jawa dan seluruh dunia ( Geertz 1969 : 264 ). Ia merupakan pribadi yang bernilai paling bijaksana berkat sikap bathinnya dan bukan karena sikap lahir dan keterdidikannya ( Suseno 1988 : 190 ). Ia merupakan pamong yang sepi ing pamrih, rame ing ngawe ” sepi akan maksud, rajin dalam bekerja dan memayu hayuning bawana ” menjaga kedamaian dunia ( Mulyono, 1978 : 119 dan Suseno 1988 : 193 )
Dari segi etimologi, joinboll ( dalam Mulyono 1978 : 28 ) berpendapat bahwa Semar berasal dari sar yang berarti sinar ” cahaya “. jadi Semar berarti suatu yang memancarkan cahaya atau dewa cahaya, sehingga ia disebut juga Nurcahya atau Nurrasa ( Mulyono 1978 : 18 ) yang didalam dirinya terdapat atau bersemayam Nur Muhammad, Nur Illahi atau sifat Ilahiah. Semar yang memiliki rupa dan bentuk yang samar, tetapi mempunyai segala kelebihan yang telah disebutkan itu, merupakan simbol yang bersifat Ilahiah pula ( Mulyono 1978 : 118 – Suseno 1988 : 191 ). Sehubungan dengan itu, Prodjosoebroto ( 1969 : 31 ) berpendapat dan menggambarkan ( dalam bentuk kaligrafi ) bahwa jasat Semar penuh dengan kalimat Allah.
Sifat ilahiah itu ditunjukkan pula dengan sebutan badranaya yang berarti ” pimpinan rahmani ” yakni pimpinan yang penuh dengan belas kasih ( timoer, tt : 13 ). Semar juga dapat dijadikan simbol rasa eling ” rasa ingat ” ( timoer 1994 : 4 ), yakni ingat kepada Yang Maha Pencipta dan segala ciptaanNYA yang berupa alam semesta. Oleh karena itu sifat ilahiah itu pula, Semar dijadikan simbol aliran kebatinan Sapta Darma ( Mulyono 1978 : 35 )
Berkenaan dengan mitologi yang merekfleksikan segala kelebihan dan sifat ilahiah pada pribadi Semar, maka timbul gagasan agar dalam pementasan wayang disuguhkan lakon ” Semar Mbabar Jati Diri “. gagasan itu muncul dari presiden Suharto dihadapan para dalang yang sedang mengikuti Rapat Paripurna Pepadi di Jakarta pada tanggal, 20-23 Januari 1995. Tujuanya agar para dalang ikut berperan serta menyukseskan program pemerintah dalam pembangunan manusia seutuhnya, termasuk pembudayaan P4
( Cermomanggolo 1995 : 5 ). Gagasan itu disambut para dalang dengan menggelar lakon tersebut. Para dalang yang pernah mementaskan lakon itu antara lain : Gitopurbacarita, Panut Darmaka, Anom Suroto, Subana, Cermomanggolo dan manteb Soedarsono ( Cermomanggolo 1995 : 5 – Arum 1995 : 10 ). Dikemukan oleh Arum ( 1995:10 ) bahwa dalam pementasan wayang kulit dengan lakon ” Semar Mbabar Jadi Diri ” diharapkan agar khalayak mampu memahami dan menghayati kawruh sangkan paraning dumadi ” ilmu asal dan tujuan hidup, yang digali dari falsafat aksara Jawa Ha-Na-Ca-Ra-Ka. Pemahaman dan penghayatan kawruh sangkan paraning dumadi yang bersumber filsafat aksara Jawa itu sejalan dengan pemikiran Soenarto Timoer
( 1994:4 ) bahwa filsafat Ha-Na-Ca-Ra-Ka mengandung makna sebagai sumber daya yang dapat memberikan tuntunan dan menjadi panutan ke arah keselamatan hidup. Sumber daya itu dapat disimbolkan dengan Semar yang berpengawak sastra dentawyanjana. Bahkan jika mengacu pendapat Warsito
Kamis, 03 Februari 2011
PROFIL SUMBER DAYA WILAYAH PESISIR " DESA PEMATANG PASIR KECAMATAN KETAPANG LAMPUNG SELATAN
Desa Pematang Pasir terpilih sebagai lokasi pengembangan model
pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu berbasis masyarakat setelah melalui
proses seleksi awal dari 9 (sembilan) desa di Pantai Timur Kabupaten Lampung
Selatan yang memiliki wilayah pertambakan tradisional. Kegiatan ini merupakan
kerjasama antara pemerintah daerah Kabupaten Lampung Selatan, Proyek
Pesisir dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LPSM Yasadhana, Yayasan Mitra
Bentala dan Yayasan Alas Indonesia).
Desa Pematang Pasir termasuk dalam wilayah Kecamatan Ketapang,
Kabupaten Lampung Selatan terdiri dari lima dusun yaitu Purwosari, Rejosari
I, Rejosari II, Sidomukti I, dan Sidomukti II. Desa ini merupakan salah satu
desa di wilayah Pantai Timur Lampung yang padat dengan masalah kegiatan
pembukaan tambak udang dan masalah abrasi yang parah. Abrasi ini
disebabkan ketidakjelasan status lahan dan lemahnya pengawasan jalur hijau
sehingga sebagian besar hutan pantai (mangrove) dibuka oleh masyarakat menjadi
areal tambak.
Penyusunan Profil Sumberdaya Wilayah Pesisir Desa Pematang Pasir
adalah salah satu proses dalam kegiatan pengelolaan wilayah pesisir secara
terpadu yang berbasis masyarakat, yaitu berupa proses pencarian data dan
informasi mengenai situasi dan kondisi yang ada dan berkembang di desa.
Profil ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan dalam perencanaan kegiatan.
Berdasarkan kesepakatan internasional, proses pengelolaan sumberdaya
wilayah pesisir terpadu mengikuti suatu siklus pembangunan atau kebijakan
(Gambar 1). Siklus tersebut terdiri dari lima langkah berikut:
1. Identifikasi isu-isu pengelolaan sumberdaya
wilayah pesisir
2. Persiapan atau perencanaan program
3. Adopsi program dan pendanaan
4. Pelaksanaan program
5. Monitoring dan evaluasi
Dokumen profil ini merupakan satu langkah awal dari serangkaian tahapan
atau langkah-langkah dalam siklus tersebut.
Pengalaman dunia juga menunjukkan bahwa beberapa langkah di atas
harus dilalui apabila ingin mencapai keberhasilan dalam tujuan jangka panjang.
Program akan lebih matang dan kuat apabila telah berhasil melewati satu putaran
siklus.
Profil desa ini juga diharapkan dapat membantu masyarakat untuk
mengenali potensi diri dan sumberdaya alamnya sehingga mereka dapat
memahami kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya untuk dapat memperbaiki
dan mengembangkan potensi yang ada. Dengan meningkatnya kepedulian
dan keterlibatan masyarakat dalam pembangunan desanya diharapkan akan
muncul kembali rasa kebersamaan dan kemampuan untuk berswadaya.
Keterlibatan masyarakat dalam perencanaan kegiatan akan sangat
membantu pemerintah daerah dalam penyusunan program yang benar-benar
sesuai dengan kebutuhan masyarakat, sehingga dana pembangunan benar-benar
dapat dimanfaatkan sebagaimana mestinya, sesuai dengan tuntutan desentralisasi
dan otonomi daerah.
1.2 Tujuan
Tujuan penyusunan profil desa adalah untuk mengetahui kondisi, potensi,
dan permasalahan desa sebagai lokasi kegiatan, yang dideskripsikan dalam profil
desa berdasarkan data dan informasi yang diperoleh dari masyarakat.
Selanjutnya profil desa ini diharapkan mampu menyediakan informasi yang
senyatanya, sehingga dapat digunakan sebagai acuan untuk
menyusun kegiatan bersama dalam usaha membangun
Desa Pematang Pasir secara mandiri dan terpadu.
1.3 Metode Pengumpulan dan Analisis Data
Pengumpulan data dilakukan dengan dua cara, yaitu
pengumpulan data primer (data diambil langsung dari
masyarakat) dan pengumpulan data sekunder dari hasilhasil
penelitian, laporan-laporan teknis, dan Atlas
Sumberdaya Wilayah Pesisir Lampung. Pengumpulan data
primer terdiri dari:
s Pengumpulan data dengan wawancara semi terstruktur
atau informal yaitu bertemu langsung dengan
masyarakat yang diambil secara random/sampling
untuk mendapatkan berbagai informasi tentang
permasalahan yang mereka hadapi dalam budidaya
pertanian maupun budidaya udang/pertambakan.
s Pengumpulan data dengan cara pertemuan kelompok,
sehingga didapatkan informasi tentang berbagai
permasalahan yang mereka hadapi dalam budidaya
pertanian maupun budidaya udang, serta permasalahan
yang dihadapi secara kelompok.
s Untuk mendapatkan data statistik (penduduk), luas
wilayah, pola pemanfaatan lahan, kepemilikan dan status
lahan dilakukan dengan pendataan langsung melalui kerjasama dengan
Ketua RT di masing-masing dusun.
Data yang diperoleh ditabulasikan dan dianalisis secara kualitatif. Kemudian
dilakukan verifikasi data dan hasil analisis dengan masyarakat untuk memastikan
kebenarannya. Selanjutnya hasil pengolahan dan analisis data dideskripsikan
menjadi profil desa.
2.1 Sejarah Desa
Desa Pematang Pasir menjadi desa definitif relatif masih baru yaitu pada
tahun 1993. Sejarah perkembangan terbentuknya desa ini melalui proses
kedatangan masyarakat secara swakarsa yang tentu saja sangat berbeda dengan
kebanyakan wilayah lainnya di Lampung yang menjadi lokasi proyek
transmigrasi.
Menurut penuturan tokoh masyarakat desa yang juga pelopor pembukaan
lokasi usaha dan pemukiman di desa ini (Marjono, dkk, 1999), kelompok
pendatang pertama berasal dari Wonosobo dan Kota Agung (Kab. Tanggamus)
sebanyak 30 KK (Zen, Kadim, dkk). Kedatangan kelompok pertama ini terjadi
pada tahun 1972 berdasarkan informasi dari H. Rais (pada saat itu anggota
DPRD Propinsi) dan Masrah Saleh (Kades Gayam) kepada masyarakat
Wonosobo dan Kota Agung untuk membuka lokasi secara swadaya di wilayah
yang sekarang ini termasuk Desa Taman Sari. Pada tahun 1973, ketigapuluh
KK tersebut dengan mengeluarkan biaya administrasi sebesar Rp 5.500.- untuk
2 ha lahan per KK diizinkan membuka areal baru di Pematang Pasir di bawah
koordinasi Yayasan Pembina Umat (YPU) yang pada waktu itu diketuai oleh
Yakub Lubis. Pelaksanaan pengukuran lahan dilakukan oleh juru ukur agraria
(Tumiri) dan didampingi polisi kehutanan (Silalahi). Pada awal pembukaan lahan,
Pematang Pasir masih berupa hutan dan rawa-rawa, dan belum ada jalan yang
layak untuk jalur transportasi dengan kendaraan. Tahun berikutnya (1974),
gelombang pendatang ke II dari Wonosobo (40 KK) melanjutkan pembukaan
lahan untuk pertanian tanaman tahunan dan palawija. Selanjutnya kedatangan
petani lebih bersifat perorangan baik berasal dari daerah Lampung sendiri
maupun dari Pati (Jateng) dan Kronjo (Jabar).
Pematang Pasir pada awalnya merupakan wilayah Desa Gayam. Masyarakat
pendatang yang membuka lokasi di sini dipimpin oleh seorang Kepala Suku
(Ramlan Lubis) berkoordinasi dengan YPU sampai YPU bubar pada tahun
1979. Pada tahun 1980, wilayah bukaan baru ini dibagi menjadi 3 dusun, yaitu
dusun 4, 5 dan 6 sebagai bagian dari Desa Gayam. Dengan meningkatnya
jumlah penduduk dan semakin kompleksnya aktivitas dan permasalahan
masyarakat, terutama menyangkut administrasi pemerintahan, pada tahun
1988 Pematang Pasir ditingkatkan menjadi desa persiapan dan pada tahun 1993
ditingkatkan lagi menjadi desa definitif.
Sebagian wilayah Desa Pematang Pasir termasuk dalam kawasan Proyek
Rawa Sragi II untuk areal persawahan, yang pembangunan drainase dan tanggul
penangkisnya dilaksanakan tahun1987 sampai 1988. Bersamaan dengan
pembangunan Proyek Rawa Sragi II, pendatang perorangan yang berasal dari
Pati dan Kronjo mulai membuka lahan pesisir di luar tanggul penangkis untuk
empang bandeng, yang akhirnya juga digunakan sebagai tempat pemeliharaan
udang dengan memanfaatkan saluran drainase untuk memasukan air laut.
Kegiatan ini bisa dianggap sebagai awal pembukaan jalur hijau di pesisir Desa
Pematang Pasir yang sebagian kawasan tersebut juga termasuk Register 1 yang
diperuntukkan sebagai hutan produksi yang dapat dikonversi. Pelaksanaan landreform
Proyek Rawa Sragi II dengan jatah 1 ha pekarangan dan 1 ha sawah tiap
KK, untuk wilayah Pematang Pasir tidak disetujui oleh masyarakat dan akhirnya
lahan sawah yang sudah dicetak tetap dimiliki oleh pemilik lahan sebelumnya
Struktur Pemerintahan Desa
Kelembagaan Desa di Pematang Pasir sudah lengkap sebagaimana di desadesa
definitif lain di Indonesia. Sampai dengan tahun 2000, Ketua LKMD
dijabat oleh Dalil, Kepala Desa Satiman (1992-2000), Sekretaris Desa Bambang
S., Kepala Urusan Umum M. Sugino, Kepala Urusan Pemerintahan Tugiono,
Kepala Urusan Pembangunan Rasimun. Terdapat lima kepala dusun antara
lain, Radi sebagai Kadus Purwosari, Santami sebagai Kadus Rejosari I, Kadus
Rejosari II Sukarto, Kadus Sidomukti I Sudarno, dan Kadus Sidomukti II
Ashari.
2.3 Sarana dan Prasarana Desa
Desa Pematang Pasir dilintasi jalan lintas timur Sumatera (jalan negara
sepanjang 9 km) sebagai jalur lintas kedua utama yang menghubungkan
Sumatera dengan Jawa. Jalur ini merupakan jalan baru yang mulai digunakan
secara efektif sejak tahun 1993. Jalan dalam desa masih berupa jalan tanah dan
sebagian besar bisa dilalui oleh kendaraan roda empat dan sampai saat ini
belum ada peningkatan kualitas jalan dalam desa.
Permukiman penduduk umumnya terdapat di sepanjang jalan raya dan
sebagian lainnya pada jalur sebelah Timur sekitar 200 meter sejajar jalan raya.
Sejak tahun 1997, pemukiman sepanjang jalan raya yang telah menikmati aliran
listrik PLN, sementara yang lainnya belum didukung oleh distribusi aliran listrik.
Sarana lainnya yang sudah ada, yaitu dua Sekolah Dasar Negeri (SDN),
dua Madrasah Ibtidaiyah (MI), dua Madrasah Tsanawiyah (MTs), dua Pondok
Pesantren, dan satu Taman Kanak-kanak. Sarana ibadah yang ada terdiri dari
dua masjid dan mushala di tiap-tiap dusun. Fasilitas kesehatan yang tersedia
berupa satu Puskesmas Pembantu dan satu Klinik Kesehatan yang dikelola
swasta. Klinik kesehatan ini didukung dokter umum dan dokter spesialis.
Geografi dan Administrasi
Desa Pematang Pasir merupakan salah satu dari 10 desa di Pantai Timur
Kabupaten Lampung Selatan. Desa ini dilalui jalan raya lintas timur dan
termasuk wilayah Kecamatan Pembantu Ketapang. Di sebelah Utara berbatasan
dengan Desa Berundung dan Sidodadi, sebelah Timur berbatasan dengan Laut
Jawa, di sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Sumbernadi dan Desa
Sidoasih, dan di sebelah Barat dengan Desa Sumber Agung.
Secara administratif Desa Pematang Pasir terdiri dari 5 (lima) dusun,
yaitu Purwosari, Rejosari I, Rejosari II, Sidomukti I, dan Sidomukti II. Masingmasing
dusun diketuai oleh Kepala Dusun.
3.2 Fisiografi dan Kondisi Tanah
Hampir 85% wilayah Pematang Pasir terletak pada fisiografi Dataran Tuf
Masam, dan sisanya merupakan fisiografi Marin. Usaha pertambakan umumnya
dilakukan di wilayah berfisiografi Marin tersebut, sedangkan usaha pertanian
dilakukan di wilayah berfisiografi Dataran Tuf Masam.
Fisiografi Dataran Tuf Masam didominasi oleh jenis tanah Kanhapoludults
yang bertekstur agak halus sampai halus,
kedalaman tanah sangat dalam, drainase baik,
kesuburan tanah rendah sampai sangat rendah,
kapasitas tukar kation tanah rendah sampai
sangat rendah, dan reaksi tanah masam sampai
sangat masam.
Fisiografi Marin (dataran pantai) sebagian
terdiri dari jenis tanah Hydraquents yang
bertekstur tanah halus, kedalaman tanah
sangat dalam, drainase sangat buruk,
kesuburan tanah sangat rendah, kapasitas tukar
kation tanah sangat rendah, dan reaksi tanah
sangat masam. Sebagian lagi wilayah ini terdiri
dari jenis tanah yang bertekstur kasar,
kedalaman tanah sedang sampai dalam,
drainase kadang-kadang berlebihan, kesuburan tanah rendah, kapasitas tukar
kation tanah rendah, dan reaksi tanah sangat alkalin. Curah hujan di daerah
Pematang Pasir berkisar antara 1750 mm/th sampai 2250 mm/th.
Menyimak kondisi lingkungan fisik wilayah Pematang Pasir, dapat
dikemukakan bahwa lahan-lahan yang terletak di wilayah fisiografi marin lebih
cocok untuk pengembangan pertambakan, sedangkan areal yang terletak di
wilayah fisiografi dataran tuf masam dapat digunakan untuk pengembangan
tanaman pangan seperti jagung, ubi jalar, ubi kayu, kacang tanah, kedelai, dan
kacang hijau, tanaman sayuran seperti ketimun, bawang daun, bawang merah,
buncis, kacang panjang, cabai, tomat, bayam, serta buah-buahan dataran rendah
seperti nenas, pisang, pepaya, melon, semangka, belimbing.
Namun demikian di dalam pengelolaannya, karena wilayah ini tingkat
kesuburan dan kandungan bahan organiknya sangat rendah, diperlukan
pemupukan dan penambahan bahan organik dengan pupuk kandang atau
pemberian mulsa. Pemberian mulsa sangat dianjurkan karena wilayah ini kondisi
curah hujannya relatif rendah dan tidak merata. Oleh karena itu, pengembangan
persawahan di wilayah ini mengalami kendala ketersediaan air, baik air
hujan maupun irigasi (Wiryawan, B., 1999).
3.3 Pemanfaatan Lahan
Luas lahan Desa Pematang Pasir 11,20 km2
atau 1120 ha (Data Kecamatan). Lahan tersebut
dimanfaatkan untuk persawahan (42,166%),
pertambakan (18,71%), perladangan (5,951%),
dan perumahan/pekarangan (33,175%). Lahan
pekarangan atau perladangan banyak
dimanfaatkan masyarakat untuk menanam
pohon kelapa, pisang serta tanaman lainnya. Di
areal persawahan ditanam padi, bawang merah,
tomat, dan sayur-mayur, sedangkan pada areal
pertambakan selain ditebar udang juga dipelihara
ikan bandeng. Lihat Peta Administrasi Desa.
Kependudukan
Penduduk Desa Pematang Pasir berjumlah 4.542 jiwa, yang terdiri dari
laki-laki 2.342 jiwa (51,57%) dan perempuan 2.200 jiwa (48,43%), sehingga
seks rasionya sebesar 106,48. Dari jumlah penduduk tersebut yang termasuk
dalam usia produktif (usia 19-59 tahun) sebanyak 3.848 jiwa, terdiri dari lakilaki
sebanyak 2580 jiwa dan perempuan sebanyak 1268 jiwa. Grafik kondisi
penduduk tertera pada Gambar 3, dan gambaran penduduk secara keseluruhan
tertera pada Lampiran.
Warga Desa Pematang Pasir yang berpendidikan Sekolah Dasar (SD)
sebesar 34,4%, Sekolah Menengah Pertama 7,4%, Sekolah Menengah Umum
sebesar 4,1%, D-1 dan D-2 0,2%, Diploma III 0,1%, dan yang berpendidikan
Strata I 0,2%.
Sebagian besar penduduk Pematang Pasir bekerja sebagai petani dan
petambak. Di samping itu ada juga yang bekerja sebagai buruh, guru, pegawai
negeri sipil, dan nelayan. Dari jumlah total kepala keluarga (1031 KK), ternyata
80,21 % adalah petani, 4,85% adalah petambak, dan lain-lain 14,94% (guru,
dagang, buruh, PNS, dll.).
Penduduk Pematang Pasir 84% berasal dari Jawa (Jawa Tengah, Jawa
Timur), Sunda sebanyak 9%, dan dari daerah lainnya seperti Batak, Betawi,
Banten, Bugis, Palembang, Padang, Madura, dan Cina sebanyak 7%.
Budaya yang dominan di Pematang Pasir adalah budaya etnis Jawa, karena
84% warganya berasal dari etnis Jawa. Kewajiban sosial yang menjadi tradisi di
Pematang Pasir antara lain menyumbang seseorang yang sedang melaksanakan
hajatan (pernikahan, kelahiran, khitanan, pindah rumah, dll). Sumbangan kaum
laki-laki berupa uang, sedangkan kaum perempuan biasanya menyumbang
bahan-bahan pokok (beras, mie, kecap, gula, roti, ayam) ditambah
dengan uang atau berupa kado. Tradisi ini kadang-kadang menjadi
beban sosial bagi masyarakat, apalagi saat musim panen gagal,
sehingga mereka rela menghutang kepada orang lain untuk
keperluan menyumbang tersebut (Darmastuti dan Rochana, 2000).
Selain tradisi di atas, masyarakat Desa Pematang Pasir
mempunyai tradisi bersih desa (Suro’an) yang dirayakan dengan
menggelar acara budaya Wayang Kulit yang sebelumnya didahului
dengan acara Ruwatan. Tradisi ini dilaksanakan setiap tahun.
Kegiatan-kegiatan lain yang juga dilakukan masyarakat adalah
arisan ibu-ibu (tiap hari Kamis), kelompok tani (tiap 6 bulan), yasinan
bapak-bapak (tiap hari Jum’at), arisan bapak-bapak (tiap 6 bulan),
yasinan ibu-ibu (tiap hari Kamis), dan shalawatan (tiap hari Jum’at
kliwon).
4.2 Peranan Kaum Perempuan
Berdasarkan hasil penelitian Ari Darmastuti dan Erna Rochana
(2000), tentang Profil Potensi, Peran dan Sumbangan Perempuan
dalam Kehidupan Keluarga dan Masyarakat di Pematang Pasir, antara
lain didapatkan bahwa perempuan terlibat aktif dalam berbagai kegiatan di
desa, terutama dalam bidang sosial, ekonomi, kesehatan, dan pendidikan,
sedangkan dalam struktur kekuasaan dan pemerintahan desa hampir tidak ada.
Tingkat pendidikan perempuan (rata-rata SLTP) lebih rendah dari kaum
laki-laki (rata-rata SMU). Bekal keterampilan yang dimiliki perempuan , seperti
membuat makanan, menjahit, menjadi dukun, buruh pabrik, dan lain-lain.
Industri rumah tangga pada umumnya ditangani oleh kaum perempuan,
seperti pembuatan keripik pisang dan singkong, makanan gorengan, tempe,
kelanting, dan lain-lain. Sumbangan perempuan terhadap pendapatan keluarga
sangat bervariasi mulai dari tidak memberikan sumbangan sampai dengan yang
penghasilannya lebih besar dari kaum laki-laki, dan ternyata hal ini tidak
menjadikan beban psikologis dalam hubungan keluarga. Di samping itu
perempuan melakukan Survival strategy dengan berbagai cara, antara lain pinjam
meminjam uang, gadai, mengambil barang di toko untuk dibayar kemudian
bagi keperluan khusus, berhutang pada pedagang keliling, memutar uang kas
yasinan/pengajian, memelihara ternak dan menanam sayuran di rumah, selain
melakukan kegiatan ekonomi utama.
Lembaga-lembaga yang berperan di desa dan secara nyata mempengaruhi
kehidupan perempuan antara lain yasinan (lembaga informal keagamaan), arisan,
“sambatan”, rukun kematian (sosial ekonomi), “sumbangan”, puskesmas, posyandu
dan Griya Husada (kesehatan), Yayasan Al-Muhajirin dan Al-Ma’arif (pendidikan).
4.3 Perekonomian Desa
4.3.1 Pertanian
Kegiatan utama pertanian di Desa Pematang Pasir adalah usahatani maupun
padi sawah dan sayuran (cabai, bawang merah). Persawahan di Desa Pematang
Pasir merupakan sawah yang dicetak oleh Proyek Rawa Sragi II tahun 1984 - 1986.
Lahan tersebut sebelumnya adalah rawa-rawa yang cukup dalam, kemudian di bagian
folder (tanggul) dan saluran drainase untuk mengatur kelebihan air.
Lahan sawah di Desa Pematang Pasir adalah sawah tadah hujan, sehingga
penanaman padi hanya dilaksanakan pada musim hujan. Selama musim hujan
(bulan November sampai bulan Mei) petani dapat melaksanakan dua kali tanam
padi. Tanam kedua biasanya merupakan spekulasi petani bahwa hujan terakhir
masih turun untuk membasahi lahan mereka. Namun sejak dua tahun terakhir
ini akibat terjadinya perubahan musim petani kesulitan untuk menentukan
saat yang tepat untuk mulai mengolah tanah. Umumnya pengolahan tanah
dimulai bila air diperkirakan sudah cukup memadai untuk mulai mengolah dan
menanam padi. Sebelum terjadi perubahan musim tersebut biasanya petani
dapat menentukan saat tanam dengan melihat bintang dan membuat
perhitungan tradisional Jawa berdasarkan ‘mongso’.
Pada musim kemarau sebagian kecil masyarakat menanam tanaman sayuran
seperti bawang merah, dan cabai. Sedikitnya petani yang menanam tanaman
sayuran karena lahannya jauh dari sumber air, atau karena tingginya harga bibit,
pupuk, dan obat-obatan.
Dalam keadaan tidak kekurangan air (normal) produksi padi per hektar
rata-rata 3 – 4 ton, sedangkan produksi bawang merah rata-rata 2 – 2,5 ton per
dan cabai dapat mencapai 1 – 2 ton per ha.
Kondisi perekonomian masyarakat petani sawah banyak dipengaruhi oleh
keberadaan petambak. Pengaruh positif yang dapat dirasakan oleh petani
sawah yaitu mereka bisa mendapatkan uang dari upah menjadi buruh di tambak
pada saat sawahnya tidak bisa digarap karena kemarau. Sedangkan pengaruh
negatif yang dirasakan yaitu kesulitan untuk mendapatkan buruh yang mau
bekerja di sawah karena upahnya lebih rendah dari upah buruh tambak, sehingga
orang lebih suka menjadi buruh di tambak dibanding dengan untuk menjadi
buruh di sawah. Pengaruh negatif lainnya adalah mahalnya harga saprotan
(insektisida, pestisida, pupuk) karena banyak yang digunakan oleh para petambak
yang berani membeli dengan harga mahal.
Sebagai akibat kondisi pertanian yang belum dapat diandalkan sepenuhnya
dalam usaha memenuhi kebutuhan hidup, maka di Pematang Pasir ada kirakira
50 orang petani yang ikut membuka lahan baru untuk bertani di daerah
Pasiran (Tulang Bawang-dekat Bratasena). Ada juga yang beralih menjadi
pekerja bangunan, tukang ojek, buruh tambak, atau kegiatan apa saja yang bisa
menghasilkan uang untuk bertahan hingga musim panen tiba.
Seperti petani di daerah lain, petani di Pematang Pasir pun sering
mengeluhkan kebijakan pemerintah yang dinilainya lebih banyak merugikan
petani. Seperti misalnya akibat dicabutnya subsidi pupuk, menyebabkan harga
pupuk menjadi mahal, sementara harga hasil-hasil pertanian lebih rendah
sehingga nilai tukar petani menjadi lebih rendah lagi.
Dalam menghadapi kondisi pertanian yang demikian sulit, para petani di
Pematang Pasir hingga saat ini hanya menghadapi masalah tersebut dengan caranya
sendiri-sendiri. Sampai saat ini belum ada kelompok yang mampu berkembang
untuk menghadapi masalah-masalah yang ada secara bersama-sama dalam satu
garis perjuangan - membangkitkan nasib petani dan menuju kemandirian.
4.3.2 Perikanan
Sumber ekonomi utama masyarakat Pematang Pasir sekarang ini
bergantung pada hasil budidaya udang dan bandeng. Areal budidaya mereka
tidak hanya terbatas dalam wilayah desa tetapi juga di desa tetangga dan bahkan
sampai di Rawajitu dan Sumatera Selatan. Semakin baiknya lintas timur sebagai
jalur transportasi (1994) dan pelabuhan penyeberangan Bakauheni (1980),
telah memberi manfaat secara langsung pada masyarakat Pematang Pasir untuk
meningkatkan perekonomian mereka seperti menjadi pedagang pengumpul
hasil tambak udang, bandeng, penyedia sarana produksi perikanan, dan
kebutuhan sehari-hari. Penurunan kualitas lingkungan lahan tambak dalam hal
ini untuk budidaya udang yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi, tanpa diikuti
dengan peningkatan sikap dan pemahaman masyarakat untuk pengelolaan
wilayah pesisirnya secara terpadu, suatu saat akan berdampak buruk pada kondisi
sosial ekonomi masyarakat Pematang Pasir.
Luas lahan tambak di Desa Pematang Pasir sekitar 88,83 ha yang terletak
di antara Parit I dan Parit II dan sering disebut dengan nama “Kukap”. Selain
itu ada juga warga yang memiliki tambak di wilayah Desa Berundung antara
Parit II dan Parit V.
Sebagian tambak Desa Pematang Pasir saat ini statusnya sebagai lahan
sawah (dalam tanggul penangkis Proyek Rawa Sragi II) dan sebagian yang berada
di luar tanggul penangkis sampai saat ini masih berstatus lahan Register 15
Hutan Produksi Terbatas yang dikuasai Dinas Kehutanan.
Produksi tambak di Desa Pematang Pasir rata-rata 2 kwintal/musim per
ha setiap kali panen dalam kondisi normal. Dalam satu tahun dapat dilakukan
tiga kali siklus. Keberhasilan tambak masih rendah, rata-rata hanya 30 % setiap
tahunnya.
Udang yang berasal dari petambak langsung ditampung oleh pembina
yang berperan juga sebagai penampung. Penampung ini bisa langsung mengirim
udang kepada eksportir di Jakarta atau di Jawa Timur (Banyuwangi). Selain
penampung besar seperti tersebut di atas, adapula pengumpul kecil yang
menampung udang dari pelele/bakul yang menjual udang hasil “njrupung”
atau “leles” yaitu udang sisa panen di tambak yang tertinggal. Para penampung
kecil ini kemudian menghubungi pengumpul besar/penampung baik yang ada
di desa maupun yang berada di Bandar Lampung. 4.3.3 Perdagangan
Sarana dan prasarana perdagangan yang terdapat di Desa Pematang Pasir
relatif cukup lengkap dan semakin berkembang sejalan dengan perkembangan
penduduk. Toko-toko penyedia kebutuhan harian, elektronik, bahan bangunan
maupun untuk sarana produksi pertanian dan perikanan yang terkonsentrasi
dan menjadi pusat keramaian terdapat di desa ini.
Lokasi pasar yang berada sebelah barat jalan raya, secara administratif
terletak di Desa Sidoasih, tetapi secara umum dikenal oleh masyarakat sebagai
pasar Pematang Pasir. Sebagai lokasi pemenuhan kebutuhan masyarakat dan
transaksi hasil pertanian dan perikanan, pasar Pematang Pasir memiliki tiga
hari pasaran, yaitu Minggu, Rabu, dan Jumat.
Hasil produksi budidaya perikanan tambak (bandeng dan udang)
merupakan komoditi perdagangan utama di desa ini. Pedagang pengumpul
hasil panen udang dan bandeng tidak hanya mengumpulkan hasil panen dari
desa sekitarnya, tetapi juga berasal dari Rawajitu dan Sumatera Selatan yang
selanjutnya dikirim ke Jakarta atau ke tempat lain di Pulau Jawa untuk pengolahan lebih lanjut sebagai komoditi ekspor.
Lingkungan
Wilayah timur Desa Pematang Pasir yang berbatasan dengan pantai adalah
wilayah pasang surut. Wilayah ini pada awal tebang digunakan oleh pembuka
lahan sebagai lahan sawah, namun karena adanya intrusi air laut, maka lahan tersebut
menjadi tidak sesuai untuk tanaman padi. Hal tersebut merupakan salah satu
penyebab banyak petani yang menelantarkan lahan sawahnya. Bahkan setelah
dibangun tanggul penangkis dan saluran pengeringan (drainase), salinitas masih
terlalu tinggi bagi tanaman padi, sehingga lahan sawah tersebut menjadi lahan
tidur. Kemudian setelah adanya pendatang dari Kronjo (Serang) yang melihat lahan
tidur tersebut lalu memanfaatkannya untuk empang ikan liar. Pendatang lain dari
Pati mulai memanfaatkan lahan ini sebagai tambak udang/bandeng.
V. ISU-ISU UTAMA
Erosi pantai yang terjadi di Desa Pematang Pasir dan sepanjang pantai
timur Propinsi Lampung merupakan akibat ketidaktahuan dan kurangnya
kesadaran masyarakat terhadap fungsi dan manfaat hutan mangrove. Kurangnya
pengawasan dan penegakan hukum dari pihak Dinas Kehutanan dan Dinas
terkait lainya memperparah keadaan di wilayah Pantai Timur. Ketidaktegasan
dalam pengawasan mengakibatkan penebang-penebang liar dari luar Desa
Pematang Pasir ikut membuka areal sabuk hijau untuk tambak dan selanjutnya
dijual karena harganya yang tinggi.
Para petambak yang memiliki lahan di wilayah sabuk hijau sebenarnya
mengetahui bahwa lahan tersebut milik negara, namun tidak adanya ketegasan
dari Dinas Kehutanan mengakibatkan mereka bersikap masa bodoh, selain itu
para petambak ini juga memperoleh surat garapan dari aparat desa.
Melihat hasil dan harga yang menjanjikan, maka makin banyak pendatang
yang menyewa lahan untuk membuat tambak budidaya udang windu.
Meningkatnya harga udang windu menarik begitu banyak orang untuk
memanfaatkan lahan sampai keluar batas tanggul penangkis yang seyogyanya
merupakan sabuk hijau (green belt). Pembabatan hutan mangrove ini tanpa
disadari telah mengakibatkan pantai menjadi rentan terhadap gerusan ombak,
sehingga terjadi erosi pantai yang parah dan telah memakan beberapa petak
tambak, terutama pada musim timur. Petambak yang tidak dapat meneruskan
usahanya, umumnya akan meninggalkan lahan yang telah rusak dengan cara
menjual kembali. Uang yang didapat akan digunakan untuk membuka lahan
baru di tempat lain, seperti Tulang Bawang sampai Jambi.
Sebab
sGelombang besar pada musim timur
sPenebangan mangrove, sehingga tidak ada lagi pelindung pantai alami
sPenggarapan tanah timbul tidak berwawasan lingkungan
Akibat
sPantai hilang dan asset masyarakat/tambak/sawah terancam
sRusaknya tambak dan hilangnya mata pencaharian petambak
sAncaman terhadap intrusi air laut terhadap sawah
ISU 2 : Adanya perubahan garis pantai akibat erosi dan sedimentasi
Sebab
s Konversi hutan mangrove di sempadan pantai menjadi tambak
s Pemanfaatan tanah timbul menjadi tambak secara tidak legal
Akibat
s Kualitas perairan buruk
s Ekosistem mangrove terganggu
s Erosi pantai semakin meningkat
s Hasil tambak menurun dan usaha budidaya tidak langgeng
s Hasil tangkapan nelayan berkurang
ISU 1 : Hilangnya jalur hijau (green belt) di wilayah pesisir
Sebab
s Konflik pemanfaatan lahan
s Kurang jelasnya pembagian tanggung jawab antara Pemda dan
masyarakat dalam pengelolaan wilayah pesisir
Akibat
s Rusaknya ekosistem pesisir
s Erosi pantai semakin meningkat
s Ketegangan antar masyarakat
s Kurangnya rasa memiliki dan tanggung jawab terhadap sumberdaya
yang ada
s Potensi sumberdaya pesisir belum dimanfaatkan secara optimal
Status Lahan
Berdasarkan hasil penelitian Akib dan Heryandi (2000) mengenai aspek
hukum pengelolaan wilayah pesisir, didapatkan bahwa sebagian masyarakat
Pematang Pasir mengetahui perlunya bukti kepemilikan tanah (sertifikat tanah),
akan tetapi pengetahuannya terhadap kebijakan peruntukan tanah masih sangat
rendah, demikian halnya pengetahuan masyarakat tentang pengaturan
pelestarian wilayah pesisir.
Secara vertikal, berbagai peraturan yang mengatur wilayah pesisir pada
tingkat nasional tidak bertentangan satu sama lain, tetapi secara substansial
ada beberapa ketidakjelasan instansi berwenang. Peraturan masing-masing sektor
terkait dalam pengelolaan wilayah pesisir belum selaras dengan Undang-Undang
No.22 tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah, yang di dalamnya telah
meletakkan wewenang pengelolaan sumberdaya alam dan tanggung jawab
pelestarian lingkungan.
Desa Pematang Pasir terletak pada daerah register 1, yang merupakan kawasan
hutan produksi terbatas di bawah Dinas Kehutanan. Untuk wilayah daratan
(pekarangan/persawahan) sebagian telah bersertifikat dan sebagian lagi belum
mendapat sertifikat. Untuk lahan tambak yang berasal dari sawah yang beralih
fungsi menjadi tambak, baik yang ada di dalam maupun di luar tanggul penangkis
proyek Rawa Sragi, sampai saat ini belum ada kejelasan status pemanfaatan dan
kepemilikan lahannya. Oleh karena itu belum ada sertifikat.
Dari 88 peraturan tingkat nasional dan 44 peraturan tingkat daerah yang
berkaitan dengan pegelolaan wilayah pesisir, hanya 20 peraturan yang mengatur
peran serta masyarakat. Peraturan dan kebijaksanaan yang berlaku saat ini pada
semua sektor pada umumnya dibuat dengan tanpa memperhatikan kondisi
lingkungan/sumberdaya alam dan kepentingan masyarakat sekitar, sehingga
dalam pelaksanaannya cenderung tidak efektif.
5.3 Pertanian
Isu utama yang ditemui di bidang pertanian adalah saat tanam yang tidak
serempak karena saling menunggu saat hujan turun dan tanah cukup basah
untuk tebar benih. Hal ini menimbulkan kesulitan dalam pengaturan air dan
pemberantasan hama. Petani sering pula mengalami keterlambatan tanam
akibat saling menunggu tersebut. Di Pematang Pasir belum ada aturan bersama
dalam satu hamparan sawah untuk menanam bersama-sama.
Saluran pengeringan rawa (Rawa Sragi) yang diharapkan petani dapat
membantu meningkatkan hasil pertanian, ternyata fungsinya kurang optimal. Saat
ini banyak pintu-pintu air yang rusak, sedangkan di saluran pengeringan terjadi
sedimentasi, dan hal tersebut mengakibatkan sawah tergenang pada musim hujan.
Masalah lain yang dihadapi oleh para petani adalah modal tanam dan
tingginya harga pupuk serta obat-obatan. Bagi petani di Desa Pematang Pasir
yang baru saja mengalami gagal panen dalam 3 (tiga) kali musim tanam, modal
tanam menjadi kendala utama bagi mereka mengingat hutang yang kian
menumpuk.
Ketergantungan petani di Desa Pematang Pasir terhadap air hujan
menyulitkan petani untuk menanam tanaman alternatif saat musim kemarau.
Umumnya para petani menjadi buruh bangunan atau buruh tambak untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya sampai musim hujan berikutnya. Bagi petani
yang menanam palawija selama musim kemarau, biasanya kesulitan yang ditemui
adalah menentukan tanaman yang tepat sehingga pada saat panen dapat
memperoleh harga yang memadai. Hal tersebut ditunjang pula oleh belum
adanya upaya untuk mencari informasi harga komoditas pertanian dan
menjualnya ke daerah yang harga jualnya lebih baik.
5.4 Perikanan
Setelah lebih dari 10 tahun membudidayakan tambak udang, saat ini para
petambak mulai merasakan bahwa produksi tambak sangat menurun. Bahkan
usaha tambak mereka sering terancam gagal baik karena kualitas air yang makin
rendah maupun makin sulitnya memberantas penyakit.
Pencemaran yang terjadi di Pantai Timur sudah cukup tinggi. Pencemaran
ini berasal dari pabrik-pabrik di daerah hulu yang membuang limbahnya di sungaisungai
yang bermuara di Pantai Timur, dan dari limbah buangan tambak sendiri.
Tambak semi intensif (tradisional plus) dan intensif yang dimiliki oleh masyarakat
di sepanjang Pantai Timur biasanya tidak memiliki sistem pengelolaan limbah yang
cukup baik. Air limbah dibuang begitu saja sehingga semua sisa bahan organik,
obat-obatan, dan penyakit mencemari air laut di sepanjang Pantai Timur. Hal ini
diperparah dengan hilangnya hutan mangrove yang berfungsi sebagai penyaring
atau filter bagi bahan-bahan buangan tersebut.
Saluran air masuk dan keluar yang menjadi satu ditambah dengan tidak
adanya aturan pembuangan dan pemasukan air di kalangan petambak makin
memperburuk kondisi pertambakan di wilayah ini.
Tingginya harga udang dan hutang kepada pembina mendorong petambak
untuk berproduksi lebih dari 2 (dua) siklus per tahun. Hal ini mengakibatkan
kesuburan lahan cepat menurun akibat tidak ada jeda yang memberikan
kesempatan penguraian berbagai bahan organik yang tersisa dan juga untuk
memutuskan siklus hidup penyakit.
Kendala yang dirasakan petambak dalam usaha budidaya udang, antara
lain: a) udang stres terserang penyakit; b) kesulitan mendapatkan air tawar; c)
pola pengaturan air yang masih semrawut; d) erosi pantai. Permasalahan tersebut
sangat berhubungan dengan kondisi alam dan lingkungan Pematang Pasir
sendiri. Desa Pematang Pasir tidak dilewati sungai besar yang mampu
menyediakan air tawar baik untuk pertanian maupun pertambakan, sehingga
pada saat musim kemarau, terjadi peningkatan salinitas secara tajam sebagai
akibat penguapan air laut (40 – 45 ppt). Kondisi tersebut mengakibatkan
udang mengalami stres yang membuatnya sangat rentan terserang penyakit.
Kondisi ini diperparah lagi oleh sistem saluran air masuk dan keluar yang
menyatu tanpa ada aturan antar petambak untuk menginformasikan kapan
saat memasukkan air dan kapan saat mengeluarkan air. Selain itu, ada kebiasaan
petambak untuk meletakkan lumpur organik dari dasar tambak ke atas tanggul.
Kedua hal tersebut sangat memudahkan terjadinya penularan penyakit dari
satu tambak ke tambak lainnya. Kedua hal tersebut merupakan kerugian dari
sistem tanam yang tidak serempak.
Hilangnya hutan mangrove juga menjadi salah satu penyebab menurunnya
kualitas air mengingat fungsi mangrove sebagai penyaring atau filter yang menyerap
bahan-bahan organik dan inorganik yang berasal dari tambak maupun sawah. Polusi
bahan organik dan inorganik yang berasal dari tambak ini terjadi secara
menyeluruh di sepanjang Pantai Timur, sehingga air yang berada di
sekitar pantai pun secara keseluruhan sudah tercemar. Dengan demikian,
petambak tradisional maupun semi intensif yang mengandalkan pasokan
air saat pasang surut hanya mendapatkan air berkualitas rendah yang
berasal dari buangan tambak.
Hilangnya hutan pantai ini juga mengakibatkan erosi pantai, yang
sejak tahun 1980-an telah sekitar 1 km lahan pantai Desa Pematang
Pasir hilang karena erosi ini. Beberapa tambak yang langsung berdekatan
dengan pantai hilang tergerus air. Adanya oknum yang menebang
mangrove dan membuka tanah timbul untuk tambak justru
mempercepat erosi pantai tersebut, bahkan merusak kembali hasil
reboisasi mangrove.
Selain pertambakan, usaha lain yang dilakukan oleh sebagian
kecil penduduk Desa Pematang Pasir adalah menangkap ikan.
Penangkap ikan ini dapat dibagi dalam dua kelompok yaitu penjala dan nelayan perahu.
Pada umumnya penjala tidak memiliki perahu dan mereka biasanya
menangkap ikan di saluran-saluran tambak maupun di tepi pantai dengan
menggunakan jala atau sudu. Nelayan perahu adalah penangkap ikan yang
menangkap ikan dengan perahu di perairan sekitar Desa Pematang Pasir dan
Pulau Mundu. Umumnya satu perahu digunakan bersama-sama oleh satu
kelompok nelayan. Alat tangkap yang digunakan umumnya pancing dan jala
tancap. Di Desa Pematang Pasir, jumlah penjala dan nelayan perahu ini masingmasing
sekitar 25 orang.
Masalah yang mereka hadapi saat ini adalah rendahnya hasil tangkapan
akibat hilangnya mangrove serta penangkapan ikan dengan bom dan trawl.
Selain itu sulitnya mengembangkan usaha dengan alat yang lebih baik dan
kurangnya informasi mengenai upaya-upaya pengembangan usaha yang ada
dan usaha alternatif lainnya.
5.5 Sosial
Bila diperhatikan, kendala yang dihadapi masyarakat dalam mengatasi
masalah-masalah desa adalah kurangnya kebersamaan dan komunikasi baik
antara aparat desa dan masyarakat maupun di antara masyarakat sendiri.
Musyawarah masyarakat untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi
kurang aktif. Masyarakat nampaknya kurang memiliki inisiatif untuk mencoba
mengatasi masalah dan sangat tergantung kepada perintah dari aparat desa
untuk menggerakkan mereka.
Kelompok-kelompok yang ada, baik kelompok keagamaan maupun
kelompok tani dan kelompok usaha lainnya masih belum berfungsi sebagai
sarana komunikasi untuk membahas berbagai masalah desa. Kelompok tani
maupun koperasi yang ada umumnya dibentuk untuk mendapatkan bantuan
dana dari luar. Akibatnya, masyarakat kehilangan kemampuan untuk berswadaya mengembangkan usaha dari dalam kwelompok sendiri.
Selama masa kegiatannya, Tim Pantai Timur (Proyek Pesisir dan mitra
kerja LSM Yasadhana) dan Pemda Lampung Selatan telah mencoba menangani
beberapa masalah yang terjadi di Desa Pematang Pasir. Masalah-masalah yang
telah ditangani tersebut antara lain:
6.1. Degradasi Lingkungan Pantai
Terjadinya abrasi dan sedimentasi di wilayah pantai Desa Pematang Pasir
telah mengakibatkan tingginya tingkat kehilangan lahan tambak. Untuk
mengatasi masalah ini beberapa cara telah dilaksanakan antara lain dengan
melaksanakan studi banding, rehabilitasi mangrove di areal pantai, dan
pembuatan rancangan peraturan desa tentang pengelolaan kawasan pantai.
6.1.1 Studi Banding
Kegiatan ini dilaksanakan pada bulan Januari 2000 yang diikuti oleh 30
orang, yang terdiri dari pemerintah Kabupaten Lampung Selatan dan petambak
dari 3 desa (Sumber Nadi, Pematang Pasir, dan Berundung). Lokasi kegiatan
dipilih di wilayah Pantai Utara Jawa yang memiliki kondisi alam dan
permasalahan yang hampir sama dengan kondisi Pantai Timur Lampung. Lokasi
studi banding antara lain Indramayu, Pemalang, dan Banyuwangi.
Tujuan kegiatan ini adalah untuk membuka wawasan peserta mengenai
permasalahan dan penanganan kerusakan lingkungan akibat cara pemanfaatan
yang kurang bertanggung jawab (Wiryawan, Susanto, dan Khazali, 2000).
6.1.2 Rehabilitasi Mangrove
Rehabilitasi mangrove ini diawali dari keinginan petambak yang memiliki
lahan dekat pantai. Kegiatan studi banding nampaknya memunculkan
keinginan untuk menanam kembali mangrove di wilayah pantai desa. Masalah
yang harus dihadapi untuk penanaman mangrove tersebut adalah adanya
tambak-tambak yang berada tepat di tepi pantai. Untuk itu, perlu dilaksanakan
penentuan batas lahan tambak yang dapat direlakan oleh petambak untuk
ditanami bakau.
Tim Pantai Timur mencoba membantu para petambak ini untuk
menentukan luas areal pantai yang akan ditanami bakau. Untuk pelaksanaan
kegiatan ini dibentuk panitia kecil sebagai penanggung jawab kegiatan sekaligus
forum diskusi. Panitia ini melakukan penentuan areal dan secara musyawarah
meminta kerelaan para petambak yang lahannya berada tepat di tepi pantai
untuk melepaskan sebagian lahannya. Setelah areal tanam ditentukan maka
panitia bekerja sama dengan kepala desa membuat patok batas areal penanaman.
Setelah penentuan areal, kemudian panitia membuat satu proposal yang
ditujukan kepada Dinas Kehutanan untuk mendapatkan bantuan bibit dan
sarana penanaman mangrove.
Kendala yang dihadapi dalam kegiatan ini adalah pola pelaksanaan proyek
Dinas Kehutanan yang masih belum bisa menyerahkan sebagian tanggung
jawab kepada masyarakat. Seluruh kegiatan dikendalikan oleh Dinas Kehutanan
sehingga swadaya yang muncul dari masyarakat justru terhambat dengan adanya
pemberian upah harian. Akibatnya masyarakat kurang bertanggung jawab
atas hasil reboisasi mangrove yang dilaksanakan.
Rancangan Peraturan Desa
Bersamaan dengan perencanaan kegiatan penanaman mangrove,
permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan mangrove adalah masalah
pemeliharaan dan pengawasan. Selama ini pengawasan dan penegakan hukum
untuk kawasan lindung bisa dikatakan tidak ada. Sementara itu sosialisasi
peraturan daerah mengenai kawasan sempadan pantai masih belum banyak
dimengerti oleh masyarakat sehingga sebagian besar petambak sangat
mengharapkan adanya peraturan yang dapat dipakai sebagai pegangan dalam
pengelolaan lingkungan.
Tim Pantai Timur mencoba untuk mewujudkan aspirasi para petambak
dengan membantu membuat rancangan peraturan desa sesuai kebutuhan dan
kondisi di Pematang Pasir. Dalam kegiatan ini Tim Pantai Timur dibantu oleh
praktisi hukum Universitas Lampung sehingga konsep peraturan desa yang
dibuat oleh panitia penanaman mangrove dapat diterjemahkan ke dalam bahasa
hukum (Lampiran V).
Kendala yang dihadapi dalam kegiatan ini adalah adanya suksesi kepala
desa sehingga rancangan peraturan desa tersebut belum dapat ditetapkan secara
resmi. Selain itu masih perlu dilakukan sosialisasi rancangan peraturan desa
ini kepada seluruh masyarakat sehingga rancangan peraturan desa dapat diterima
dan dilaksanakan oleh seluruh masyarakat. Untuk kelanjutan kegiatan ini, kerja
sama antara panitia perancang peraturan pengelolaan mangrove dan aparat
desa perlu diteruskan sehingga pengawasan dan pengelolaan wilayah pesisir
Desa Pematang Pasir dapat dilaksanakan sendiri oleh masyarakat setempat.
6.2. Sosial Ekonomi Masyarakat
6.2.1 Profil Desa
Pembuatan profil desa ini dilaksanakan dengan tujuan untuk memperoleh
gambaran mengenai situasi dan kondisi Desa Pematang Pasir dari berbagai segi.
Dalam proses pembuatan profil desa, dilakukan kegiatan pengumpulan data seperti
data kependudukan, sosial ekonomi masyarakat, serta masalah-masalah lain yang
muncul di masyarakat. Pengumpulan data dilaksanakan melalui survei dengan
menggunakan kuesioner maupun wawancara langsung dengan masyarakat.
Profil Desa ini diharapkan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat desa sendiri
sebagai dasar untuk membuat program desa sesuai dengan kebutuhannya.
6.2.2 Kelompok Swadaya Masyarakat
Masalah sosial yang dihadapi oleh masyarakat Desa Pematang Pasir ini
adalah kurangnya komunikasi antar masyarakat maupun antara masyarakat dan
pamong desa. Sedangkan masalah ekonomi adalah tingginya ketergantungan
masyarakat untuk memperoleh modal melalui bantuan dari luar.
Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut, Tim Pantai Timur mencoba
untuk berbagi informasi dengan mengadakan Pelatihan Dasar mengenai
Kelompok Swadaya Masyarakat. Pelatihan ini memberikan informasi mengenai
cara pengelolaan suatu kelompok sebagai sarana komunikasi antar anggota
dan sebagai sarana untuk meningkatkan keswadayaan melalui kegiatan simpan
pinjam.
Pelatihan dasar tersebut nampaknya mendapat sambutan yang cukup baik
dengan terbentuknya KSM Pasir Makmur pada tanggal 4 Mei 2000. Tujuan
utama pendirian KSM Pasir Makmur adalah untuk meningkatkan kesejahteraan
anggota pada khususnya dan mendorong upaya-upaya pembangunan desa pada
umumnya. Tujuan lain secara lengkap terdapat dalam Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga KSM Pasir Makmur.
Pada awal pembentukan, KSM Pasir Makmur mempunyai anggota sebanyak
26 orang dengan aset sebesar Rp. 728.000,- (tujuh ratus dua puluh delapan ribu
rupiah) yang berasal dari simpanan wajib dan simpanan sukarela. Hingga saat ini
KSM Pasir Makmur telah memiliki anggota sebanyak 55 orang dengan aset sebesar
Rp. 5.016.700,- (lima juta enam belas ribu tujuh ratus rupiah) yang berasal dari
simpanan anggota dan jasa pelayanan. Seluruh anggota telah dapat menikmati
pelayanan peminjaman. KSM ini secara resmi telah diketahui keberadaannya
oleh Desa dan Kecamatan, dengan ditandatanganinya AD/ART lembaga ini oleh
Camat Pembantu Ketapang dan Kepala Desa Pematang Pasir.
Untuk pengembangan kegiatan di masa datang, KSM Pasir Makmur telah
memiliki program jangka pendek, menengah, dan panjang. Program jangka
pendek KSM Pasir Makmur adalah melaksanakan penguatan ke dalam lembaga.
Kegiatan yang dilakukan antara lain dengan memberikan pengertian dan
wawasan mengenai dasar-dasar KSM pada setiap anggota baru dan masyarakat
umum yang tertarik dengan kegiatan KSM. Program jangka menengah KSM
Pasir Makmur adalah perluasan jaringan KSM dan meningkatkan kesadaran
masyarakat mengenai lingkungan dan pentingnya pendidikan formal maupun
informal. Untuk program jangka panjang secara umum KSM akan mencoba
menanamkan keswadayaan dan kegotongroyongan baik kepada anggota
maupun masyarakat umum serta mencoba untuk membantu dalam proses
pembangunan desa. Kegiatan konkrit yang akan dilaksanakan adalah
memberikan beasiswa kepada putra-putri anggota KSM yang berprestasi
khususnya bagi anggota yang kurang mampu. Kegiatan ini akan dilaksanakan
bila KSM sudah cukup kuat. Diharapkan KSM ini dapat menjadi sarana
komunikasi antara warga dan pamong desa dalam membantu kelancaran pembangunan Desa Pematang Pasir.
Pendidikan Lingkungan
Hilangnya hutan mangrove dan terjadinya abrasi di wilayah pantai timur
disebabkan oleh masih kurangnya pemahaman mengenai ekosistem hutan mangrove
dan manfaatnya bagi kehidupan manusia dan lingkungannya. Untuk
mengatasi masalah ini dilaksanakan kegiatan pendidikan lingkungan yang diberikan
kepada siswa dan guru tingkat SLTP di wilayah Kecamatan Penengahan bekerja
sama dengan Gerakan Pramuka Kwartir cabang Lampung Selatan.
Kegiatan pendidikan lingkungan ini dilakukan dengan mengadakan
perkemahan untuk mengisi liburan siswa. Dalam perkemahan ini dilaksanakan
kegiatan mencari jejak dimana siswa diminta untuk mengikuti satu rute menyusur
pantai dan diberi tugas untuk melakukan pengamatan biota dan kondisi
lingkungan di sepanjang rute. Sebelum kegiatan mencari jejak ini siswa dan
guru pendampingnya diberikan penjelasan mengenai ekosistem mangrove dan
manfaatnya bagi lingkungan dan kehidupan manusia. Dengan melihat langsung
kondisi lingkungan diharapkan dapat mempercepat pemahaman siswa dan guru
terhadap ekosistem mangrove dan manfaatnya bagi kelestarian lingkungan
kehidupan mereka sendiri. Diharapkan kegiatan ini dapat berlanjut di masa
yang akan datang dan dapat dijadikan sebagai bahan kurikulum muatan lokal.
6.3. Pengelolaan Tambak Ramah Lingkungan
Masalah lain yang sangat berkaitan dengan pengelolaan wilayah pesisir
adalah pengelolaan tambak. Pola pengelolaan yang saat ini dilakukan oleh
para petambak masih kurang memperhatikan dampak penggunaan obat-obatan
terhadap kesuburan lahan dan lingkungan hidup di sekitarnya yang dapat
berakibat buruk pada keberlanjutan usahanya di masa yang akan datang.
Untuk mengatasi permasalahan ini Proyek Pesisir mencoba mempelajari
kondisi-kondisi yang umumnya dihadapi oleh petambak dengan membuat
tambak percobaan. Tambak percobaan dengan luas 3 (tiga) ha dipinjam dari
Bapak Santoso, petambak lokal Desa Pematang Pasir.
Tujuan kegiatan ini adalah untuk membuat satu model tambak ramah
lingkungan yang dapat digunakan sebagai sarana belajar bersama bagi para petambak
mengenai proses-proses yang terjadi selama masa pemeliharaan udang.
Upaya-upaya yang dilakukan dalam pengelolaan tambak percobaan ini
disesuaikan dengan kondisi alam dan pola budidaya tradisional plus yang umum
dilakukan oleh petambak di Desa Pematang Pasir. Sejak awal proses pengolahan
lahan dan selama masa pemeliharaan dipelajari pola yang biasa dilakukan oleh
petambak sekaligus dilakukan upaya perbaikan dalam proses sehingga dapat
diketahui penyebab kegagalan dan cara penanganannya.
Dalam pengelolaan tambak ramah lingkungan ini diupayakan untuk
mengurangi penggunaan bahan-bahan kimia yang diperkirakan dapat
menurunkan kesuburan lahan. Selain itu diupayakan pula pengelolaan kualitas
air sesuai kondisi setempat dimana tidak tersedia sumber air tawar dan salinitas
yang tinggi. Kegagalan dan keberhasilan dalam pengelolaan tambak percobaan
ini diharapkan dapat menjadi bahan tukar pengalaman dengan para petambak
pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu berbasis masyarakat setelah melalui
proses seleksi awal dari 9 (sembilan) desa di Pantai Timur Kabupaten Lampung
Selatan yang memiliki wilayah pertambakan tradisional. Kegiatan ini merupakan
kerjasama antara pemerintah daerah Kabupaten Lampung Selatan, Proyek
Pesisir dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LPSM Yasadhana, Yayasan Mitra
Bentala dan Yayasan Alas Indonesia).
Desa Pematang Pasir termasuk dalam wilayah Kecamatan Ketapang,
Kabupaten Lampung Selatan terdiri dari lima dusun yaitu Purwosari, Rejosari
I, Rejosari II, Sidomukti I, dan Sidomukti II. Desa ini merupakan salah satu
desa di wilayah Pantai Timur Lampung yang padat dengan masalah kegiatan
pembukaan tambak udang dan masalah abrasi yang parah. Abrasi ini
disebabkan ketidakjelasan status lahan dan lemahnya pengawasan jalur hijau
sehingga sebagian besar hutan pantai (mangrove) dibuka oleh masyarakat menjadi
areal tambak.
Penyusunan Profil Sumberdaya Wilayah Pesisir Desa Pematang Pasir
adalah salah satu proses dalam kegiatan pengelolaan wilayah pesisir secara
terpadu yang berbasis masyarakat, yaitu berupa proses pencarian data dan
informasi mengenai situasi dan kondisi yang ada dan berkembang di desa.
Profil ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan dalam perencanaan kegiatan.
Berdasarkan kesepakatan internasional, proses pengelolaan sumberdaya
wilayah pesisir terpadu mengikuti suatu siklus pembangunan atau kebijakan
(Gambar 1). Siklus tersebut terdiri dari lima langkah berikut:
1. Identifikasi isu-isu pengelolaan sumberdaya
wilayah pesisir
2. Persiapan atau perencanaan program
3. Adopsi program dan pendanaan
4. Pelaksanaan program
5. Monitoring dan evaluasi
Dokumen profil ini merupakan satu langkah awal dari serangkaian tahapan
atau langkah-langkah dalam siklus tersebut.
Pengalaman dunia juga menunjukkan bahwa beberapa langkah di atas
harus dilalui apabila ingin mencapai keberhasilan dalam tujuan jangka panjang.
Program akan lebih matang dan kuat apabila telah berhasil melewati satu putaran
siklus.
Profil desa ini juga diharapkan dapat membantu masyarakat untuk
mengenali potensi diri dan sumberdaya alamnya sehingga mereka dapat
memahami kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya untuk dapat memperbaiki
dan mengembangkan potensi yang ada. Dengan meningkatnya kepedulian
dan keterlibatan masyarakat dalam pembangunan desanya diharapkan akan
muncul kembali rasa kebersamaan dan kemampuan untuk berswadaya.
Keterlibatan masyarakat dalam perencanaan kegiatan akan sangat
membantu pemerintah daerah dalam penyusunan program yang benar-benar
sesuai dengan kebutuhan masyarakat, sehingga dana pembangunan benar-benar
dapat dimanfaatkan sebagaimana mestinya, sesuai dengan tuntutan desentralisasi
dan otonomi daerah.
1.2 Tujuan
Tujuan penyusunan profil desa adalah untuk mengetahui kondisi, potensi,
dan permasalahan desa sebagai lokasi kegiatan, yang dideskripsikan dalam profil
desa berdasarkan data dan informasi yang diperoleh dari masyarakat.
Selanjutnya profil desa ini diharapkan mampu menyediakan informasi yang
senyatanya, sehingga dapat digunakan sebagai acuan untuk
menyusun kegiatan bersama dalam usaha membangun
Desa Pematang Pasir secara mandiri dan terpadu.
1.3 Metode Pengumpulan dan Analisis Data
Pengumpulan data dilakukan dengan dua cara, yaitu
pengumpulan data primer (data diambil langsung dari
masyarakat) dan pengumpulan data sekunder dari hasilhasil
penelitian, laporan-laporan teknis, dan Atlas
Sumberdaya Wilayah Pesisir Lampung. Pengumpulan data
primer terdiri dari:
s Pengumpulan data dengan wawancara semi terstruktur
atau informal yaitu bertemu langsung dengan
masyarakat yang diambil secara random/sampling
untuk mendapatkan berbagai informasi tentang
permasalahan yang mereka hadapi dalam budidaya
pertanian maupun budidaya udang/pertambakan.
s Pengumpulan data dengan cara pertemuan kelompok,
sehingga didapatkan informasi tentang berbagai
permasalahan yang mereka hadapi dalam budidaya
pertanian maupun budidaya udang, serta permasalahan
yang dihadapi secara kelompok.
s Untuk mendapatkan data statistik (penduduk), luas
wilayah, pola pemanfaatan lahan, kepemilikan dan status
lahan dilakukan dengan pendataan langsung melalui kerjasama dengan
Ketua RT di masing-masing dusun.
Data yang diperoleh ditabulasikan dan dianalisis secara kualitatif. Kemudian
dilakukan verifikasi data dan hasil analisis dengan masyarakat untuk memastikan
kebenarannya. Selanjutnya hasil pengolahan dan analisis data dideskripsikan
menjadi profil desa.
2.1 Sejarah Desa
Desa Pematang Pasir menjadi desa definitif relatif masih baru yaitu pada
tahun 1993. Sejarah perkembangan terbentuknya desa ini melalui proses
kedatangan masyarakat secara swakarsa yang tentu saja sangat berbeda dengan
kebanyakan wilayah lainnya di Lampung yang menjadi lokasi proyek
transmigrasi.
Menurut penuturan tokoh masyarakat desa yang juga pelopor pembukaan
lokasi usaha dan pemukiman di desa ini (Marjono, dkk, 1999), kelompok
pendatang pertama berasal dari Wonosobo dan Kota Agung (Kab. Tanggamus)
sebanyak 30 KK (Zen, Kadim, dkk). Kedatangan kelompok pertama ini terjadi
pada tahun 1972 berdasarkan informasi dari H. Rais (pada saat itu anggota
DPRD Propinsi) dan Masrah Saleh (Kades Gayam) kepada masyarakat
Wonosobo dan Kota Agung untuk membuka lokasi secara swadaya di wilayah
yang sekarang ini termasuk Desa Taman Sari. Pada tahun 1973, ketigapuluh
KK tersebut dengan mengeluarkan biaya administrasi sebesar Rp 5.500.- untuk
2 ha lahan per KK diizinkan membuka areal baru di Pematang Pasir di bawah
koordinasi Yayasan Pembina Umat (YPU) yang pada waktu itu diketuai oleh
Yakub Lubis. Pelaksanaan pengukuran lahan dilakukan oleh juru ukur agraria
(Tumiri) dan didampingi polisi kehutanan (Silalahi). Pada awal pembukaan lahan,
Pematang Pasir masih berupa hutan dan rawa-rawa, dan belum ada jalan yang
layak untuk jalur transportasi dengan kendaraan. Tahun berikutnya (1974),
gelombang pendatang ke II dari Wonosobo (40 KK) melanjutkan pembukaan
lahan untuk pertanian tanaman tahunan dan palawija. Selanjutnya kedatangan
petani lebih bersifat perorangan baik berasal dari daerah Lampung sendiri
maupun dari Pati (Jateng) dan Kronjo (Jabar).
Pematang Pasir pada awalnya merupakan wilayah Desa Gayam. Masyarakat
pendatang yang membuka lokasi di sini dipimpin oleh seorang Kepala Suku
(Ramlan Lubis) berkoordinasi dengan YPU sampai YPU bubar pada tahun
1979. Pada tahun 1980, wilayah bukaan baru ini dibagi menjadi 3 dusun, yaitu
dusun 4, 5 dan 6 sebagai bagian dari Desa Gayam. Dengan meningkatnya
jumlah penduduk dan semakin kompleksnya aktivitas dan permasalahan
masyarakat, terutama menyangkut administrasi pemerintahan, pada tahun
1988 Pematang Pasir ditingkatkan menjadi desa persiapan dan pada tahun 1993
ditingkatkan lagi menjadi desa definitif.
Sebagian wilayah Desa Pematang Pasir termasuk dalam kawasan Proyek
Rawa Sragi II untuk areal persawahan, yang pembangunan drainase dan tanggul
penangkisnya dilaksanakan tahun1987 sampai 1988. Bersamaan dengan
pembangunan Proyek Rawa Sragi II, pendatang perorangan yang berasal dari
Pati dan Kronjo mulai membuka lahan pesisir di luar tanggul penangkis untuk
empang bandeng, yang akhirnya juga digunakan sebagai tempat pemeliharaan
udang dengan memanfaatkan saluran drainase untuk memasukan air laut.
Kegiatan ini bisa dianggap sebagai awal pembukaan jalur hijau di pesisir Desa
Pematang Pasir yang sebagian kawasan tersebut juga termasuk Register 1 yang
diperuntukkan sebagai hutan produksi yang dapat dikonversi. Pelaksanaan landreform
Proyek Rawa Sragi II dengan jatah 1 ha pekarangan dan 1 ha sawah tiap
KK, untuk wilayah Pematang Pasir tidak disetujui oleh masyarakat dan akhirnya
lahan sawah yang sudah dicetak tetap dimiliki oleh pemilik lahan sebelumnya
Struktur Pemerintahan Desa
Kelembagaan Desa di Pematang Pasir sudah lengkap sebagaimana di desadesa
definitif lain di Indonesia. Sampai dengan tahun 2000, Ketua LKMD
dijabat oleh Dalil, Kepala Desa Satiman (1992-2000), Sekretaris Desa Bambang
S., Kepala Urusan Umum M. Sugino, Kepala Urusan Pemerintahan Tugiono,
Kepala Urusan Pembangunan Rasimun. Terdapat lima kepala dusun antara
lain, Radi sebagai Kadus Purwosari, Santami sebagai Kadus Rejosari I, Kadus
Rejosari II Sukarto, Kadus Sidomukti I Sudarno, dan Kadus Sidomukti II
Ashari.
2.3 Sarana dan Prasarana Desa
Desa Pematang Pasir dilintasi jalan lintas timur Sumatera (jalan negara
sepanjang 9 km) sebagai jalur lintas kedua utama yang menghubungkan
Sumatera dengan Jawa. Jalur ini merupakan jalan baru yang mulai digunakan
secara efektif sejak tahun 1993. Jalan dalam desa masih berupa jalan tanah dan
sebagian besar bisa dilalui oleh kendaraan roda empat dan sampai saat ini
belum ada peningkatan kualitas jalan dalam desa.
Permukiman penduduk umumnya terdapat di sepanjang jalan raya dan
sebagian lainnya pada jalur sebelah Timur sekitar 200 meter sejajar jalan raya.
Sejak tahun 1997, pemukiman sepanjang jalan raya yang telah menikmati aliran
listrik PLN, sementara yang lainnya belum didukung oleh distribusi aliran listrik.
Sarana lainnya yang sudah ada, yaitu dua Sekolah Dasar Negeri (SDN),
dua Madrasah Ibtidaiyah (MI), dua Madrasah Tsanawiyah (MTs), dua Pondok
Pesantren, dan satu Taman Kanak-kanak. Sarana ibadah yang ada terdiri dari
dua masjid dan mushala di tiap-tiap dusun. Fasilitas kesehatan yang tersedia
berupa satu Puskesmas Pembantu dan satu Klinik Kesehatan yang dikelola
swasta. Klinik kesehatan ini didukung dokter umum dan dokter spesialis.
Geografi dan Administrasi
Desa Pematang Pasir merupakan salah satu dari 10 desa di Pantai Timur
Kabupaten Lampung Selatan. Desa ini dilalui jalan raya lintas timur dan
termasuk wilayah Kecamatan Pembantu Ketapang. Di sebelah Utara berbatasan
dengan Desa Berundung dan Sidodadi, sebelah Timur berbatasan dengan Laut
Jawa, di sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Sumbernadi dan Desa
Sidoasih, dan di sebelah Barat dengan Desa Sumber Agung.
Secara administratif Desa Pematang Pasir terdiri dari 5 (lima) dusun,
yaitu Purwosari, Rejosari I, Rejosari II, Sidomukti I, dan Sidomukti II. Masingmasing
dusun diketuai oleh Kepala Dusun.
3.2 Fisiografi dan Kondisi Tanah
Hampir 85% wilayah Pematang Pasir terletak pada fisiografi Dataran Tuf
Masam, dan sisanya merupakan fisiografi Marin. Usaha pertambakan umumnya
dilakukan di wilayah berfisiografi Marin tersebut, sedangkan usaha pertanian
dilakukan di wilayah berfisiografi Dataran Tuf Masam.
Fisiografi Dataran Tuf Masam didominasi oleh jenis tanah Kanhapoludults
yang bertekstur agak halus sampai halus,
kedalaman tanah sangat dalam, drainase baik,
kesuburan tanah rendah sampai sangat rendah,
kapasitas tukar kation tanah rendah sampai
sangat rendah, dan reaksi tanah masam sampai
sangat masam.
Fisiografi Marin (dataran pantai) sebagian
terdiri dari jenis tanah Hydraquents yang
bertekstur tanah halus, kedalaman tanah
sangat dalam, drainase sangat buruk,
kesuburan tanah sangat rendah, kapasitas tukar
kation tanah sangat rendah, dan reaksi tanah
sangat masam. Sebagian lagi wilayah ini terdiri
dari jenis tanah yang bertekstur kasar,
kedalaman tanah sedang sampai dalam,
drainase kadang-kadang berlebihan, kesuburan tanah rendah, kapasitas tukar
kation tanah rendah, dan reaksi tanah sangat alkalin. Curah hujan di daerah
Pematang Pasir berkisar antara 1750 mm/th sampai 2250 mm/th.
Menyimak kondisi lingkungan fisik wilayah Pematang Pasir, dapat
dikemukakan bahwa lahan-lahan yang terletak di wilayah fisiografi marin lebih
cocok untuk pengembangan pertambakan, sedangkan areal yang terletak di
wilayah fisiografi dataran tuf masam dapat digunakan untuk pengembangan
tanaman pangan seperti jagung, ubi jalar, ubi kayu, kacang tanah, kedelai, dan
kacang hijau, tanaman sayuran seperti ketimun, bawang daun, bawang merah,
buncis, kacang panjang, cabai, tomat, bayam, serta buah-buahan dataran rendah
seperti nenas, pisang, pepaya, melon, semangka, belimbing.
Namun demikian di dalam pengelolaannya, karena wilayah ini tingkat
kesuburan dan kandungan bahan organiknya sangat rendah, diperlukan
pemupukan dan penambahan bahan organik dengan pupuk kandang atau
pemberian mulsa. Pemberian mulsa sangat dianjurkan karena wilayah ini kondisi
curah hujannya relatif rendah dan tidak merata. Oleh karena itu, pengembangan
persawahan di wilayah ini mengalami kendala ketersediaan air, baik air
hujan maupun irigasi (Wiryawan, B., 1999).
3.3 Pemanfaatan Lahan
Luas lahan Desa Pematang Pasir 11,20 km2
atau 1120 ha (Data Kecamatan). Lahan tersebut
dimanfaatkan untuk persawahan (42,166%),
pertambakan (18,71%), perladangan (5,951%),
dan perumahan/pekarangan (33,175%). Lahan
pekarangan atau perladangan banyak
dimanfaatkan masyarakat untuk menanam
pohon kelapa, pisang serta tanaman lainnya. Di
areal persawahan ditanam padi, bawang merah,
tomat, dan sayur-mayur, sedangkan pada areal
pertambakan selain ditebar udang juga dipelihara
ikan bandeng. Lihat Peta Administrasi Desa.
Kependudukan
Penduduk Desa Pematang Pasir berjumlah 4.542 jiwa, yang terdiri dari
laki-laki 2.342 jiwa (51,57%) dan perempuan 2.200 jiwa (48,43%), sehingga
seks rasionya sebesar 106,48. Dari jumlah penduduk tersebut yang termasuk
dalam usia produktif (usia 19-59 tahun) sebanyak 3.848 jiwa, terdiri dari lakilaki
sebanyak 2580 jiwa dan perempuan sebanyak 1268 jiwa. Grafik kondisi
penduduk tertera pada Gambar 3, dan gambaran penduduk secara keseluruhan
tertera pada Lampiran.
Warga Desa Pematang Pasir yang berpendidikan Sekolah Dasar (SD)
sebesar 34,4%, Sekolah Menengah Pertama 7,4%, Sekolah Menengah Umum
sebesar 4,1%, D-1 dan D-2 0,2%, Diploma III 0,1%, dan yang berpendidikan
Strata I 0,2%.
Sebagian besar penduduk Pematang Pasir bekerja sebagai petani dan
petambak. Di samping itu ada juga yang bekerja sebagai buruh, guru, pegawai
negeri sipil, dan nelayan. Dari jumlah total kepala keluarga (1031 KK), ternyata
80,21 % adalah petani, 4,85% adalah petambak, dan lain-lain 14,94% (guru,
dagang, buruh, PNS, dll.).
Penduduk Pematang Pasir 84% berasal dari Jawa (Jawa Tengah, Jawa
Timur), Sunda sebanyak 9%, dan dari daerah lainnya seperti Batak, Betawi,
Banten, Bugis, Palembang, Padang, Madura, dan Cina sebanyak 7%.
Budaya yang dominan di Pematang Pasir adalah budaya etnis Jawa, karena
84% warganya berasal dari etnis Jawa. Kewajiban sosial yang menjadi tradisi di
Pematang Pasir antara lain menyumbang seseorang yang sedang melaksanakan
hajatan (pernikahan, kelahiran, khitanan, pindah rumah, dll). Sumbangan kaum
laki-laki berupa uang, sedangkan kaum perempuan biasanya menyumbang
bahan-bahan pokok (beras, mie, kecap, gula, roti, ayam) ditambah
dengan uang atau berupa kado. Tradisi ini kadang-kadang menjadi
beban sosial bagi masyarakat, apalagi saat musim panen gagal,
sehingga mereka rela menghutang kepada orang lain untuk
keperluan menyumbang tersebut (Darmastuti dan Rochana, 2000).
Selain tradisi di atas, masyarakat Desa Pematang Pasir
mempunyai tradisi bersih desa (Suro’an) yang dirayakan dengan
menggelar acara budaya Wayang Kulit yang sebelumnya didahului
dengan acara Ruwatan. Tradisi ini dilaksanakan setiap tahun.
Kegiatan-kegiatan lain yang juga dilakukan masyarakat adalah
arisan ibu-ibu (tiap hari Kamis), kelompok tani (tiap 6 bulan), yasinan
bapak-bapak (tiap hari Jum’at), arisan bapak-bapak (tiap 6 bulan),
yasinan ibu-ibu (tiap hari Kamis), dan shalawatan (tiap hari Jum’at
kliwon).
4.2 Peranan Kaum Perempuan
Berdasarkan hasil penelitian Ari Darmastuti dan Erna Rochana
(2000), tentang Profil Potensi, Peran dan Sumbangan Perempuan
dalam Kehidupan Keluarga dan Masyarakat di Pematang Pasir, antara
lain didapatkan bahwa perempuan terlibat aktif dalam berbagai kegiatan di
desa, terutama dalam bidang sosial, ekonomi, kesehatan, dan pendidikan,
sedangkan dalam struktur kekuasaan dan pemerintahan desa hampir tidak ada.
Tingkat pendidikan perempuan (rata-rata SLTP) lebih rendah dari kaum
laki-laki (rata-rata SMU). Bekal keterampilan yang dimiliki perempuan , seperti
membuat makanan, menjahit, menjadi dukun, buruh pabrik, dan lain-lain.
Industri rumah tangga pada umumnya ditangani oleh kaum perempuan,
seperti pembuatan keripik pisang dan singkong, makanan gorengan, tempe,
kelanting, dan lain-lain. Sumbangan perempuan terhadap pendapatan keluarga
sangat bervariasi mulai dari tidak memberikan sumbangan sampai dengan yang
penghasilannya lebih besar dari kaum laki-laki, dan ternyata hal ini tidak
menjadikan beban psikologis dalam hubungan keluarga. Di samping itu
perempuan melakukan Survival strategy dengan berbagai cara, antara lain pinjam
meminjam uang, gadai, mengambil barang di toko untuk dibayar kemudian
bagi keperluan khusus, berhutang pada pedagang keliling, memutar uang kas
yasinan/pengajian, memelihara ternak dan menanam sayuran di rumah, selain
melakukan kegiatan ekonomi utama.
Lembaga-lembaga yang berperan di desa dan secara nyata mempengaruhi
kehidupan perempuan antara lain yasinan (lembaga informal keagamaan), arisan,
“sambatan”, rukun kematian (sosial ekonomi), “sumbangan”, puskesmas, posyandu
dan Griya Husada (kesehatan), Yayasan Al-Muhajirin dan Al-Ma’arif (pendidikan).
4.3 Perekonomian Desa
4.3.1 Pertanian
Kegiatan utama pertanian di Desa Pematang Pasir adalah usahatani maupun
padi sawah dan sayuran (cabai, bawang merah). Persawahan di Desa Pematang
Pasir merupakan sawah yang dicetak oleh Proyek Rawa Sragi II tahun 1984 - 1986.
Lahan tersebut sebelumnya adalah rawa-rawa yang cukup dalam, kemudian di bagian
folder (tanggul) dan saluran drainase untuk mengatur kelebihan air.
Lahan sawah di Desa Pematang Pasir adalah sawah tadah hujan, sehingga
penanaman padi hanya dilaksanakan pada musim hujan. Selama musim hujan
(bulan November sampai bulan Mei) petani dapat melaksanakan dua kali tanam
padi. Tanam kedua biasanya merupakan spekulasi petani bahwa hujan terakhir
masih turun untuk membasahi lahan mereka. Namun sejak dua tahun terakhir
ini akibat terjadinya perubahan musim petani kesulitan untuk menentukan
saat yang tepat untuk mulai mengolah tanah. Umumnya pengolahan tanah
dimulai bila air diperkirakan sudah cukup memadai untuk mulai mengolah dan
menanam padi. Sebelum terjadi perubahan musim tersebut biasanya petani
dapat menentukan saat tanam dengan melihat bintang dan membuat
perhitungan tradisional Jawa berdasarkan ‘mongso’.
Pada musim kemarau sebagian kecil masyarakat menanam tanaman sayuran
seperti bawang merah, dan cabai. Sedikitnya petani yang menanam tanaman
sayuran karena lahannya jauh dari sumber air, atau karena tingginya harga bibit,
pupuk, dan obat-obatan.
Dalam keadaan tidak kekurangan air (normal) produksi padi per hektar
rata-rata 3 – 4 ton, sedangkan produksi bawang merah rata-rata 2 – 2,5 ton per
dan cabai dapat mencapai 1 – 2 ton per ha.
Kondisi perekonomian masyarakat petani sawah banyak dipengaruhi oleh
keberadaan petambak. Pengaruh positif yang dapat dirasakan oleh petani
sawah yaitu mereka bisa mendapatkan uang dari upah menjadi buruh di tambak
pada saat sawahnya tidak bisa digarap karena kemarau. Sedangkan pengaruh
negatif yang dirasakan yaitu kesulitan untuk mendapatkan buruh yang mau
bekerja di sawah karena upahnya lebih rendah dari upah buruh tambak, sehingga
orang lebih suka menjadi buruh di tambak dibanding dengan untuk menjadi
buruh di sawah. Pengaruh negatif lainnya adalah mahalnya harga saprotan
(insektisida, pestisida, pupuk) karena banyak yang digunakan oleh para petambak
yang berani membeli dengan harga mahal.
Sebagai akibat kondisi pertanian yang belum dapat diandalkan sepenuhnya
dalam usaha memenuhi kebutuhan hidup, maka di Pematang Pasir ada kirakira
50 orang petani yang ikut membuka lahan baru untuk bertani di daerah
Pasiran (Tulang Bawang-dekat Bratasena). Ada juga yang beralih menjadi
pekerja bangunan, tukang ojek, buruh tambak, atau kegiatan apa saja yang bisa
menghasilkan uang untuk bertahan hingga musim panen tiba.
Seperti petani di daerah lain, petani di Pematang Pasir pun sering
mengeluhkan kebijakan pemerintah yang dinilainya lebih banyak merugikan
petani. Seperti misalnya akibat dicabutnya subsidi pupuk, menyebabkan harga
pupuk menjadi mahal, sementara harga hasil-hasil pertanian lebih rendah
sehingga nilai tukar petani menjadi lebih rendah lagi.
Dalam menghadapi kondisi pertanian yang demikian sulit, para petani di
Pematang Pasir hingga saat ini hanya menghadapi masalah tersebut dengan caranya
sendiri-sendiri. Sampai saat ini belum ada kelompok yang mampu berkembang
untuk menghadapi masalah-masalah yang ada secara bersama-sama dalam satu
garis perjuangan - membangkitkan nasib petani dan menuju kemandirian.
4.3.2 Perikanan
Sumber ekonomi utama masyarakat Pematang Pasir sekarang ini
bergantung pada hasil budidaya udang dan bandeng. Areal budidaya mereka
tidak hanya terbatas dalam wilayah desa tetapi juga di desa tetangga dan bahkan
sampai di Rawajitu dan Sumatera Selatan. Semakin baiknya lintas timur sebagai
jalur transportasi (1994) dan pelabuhan penyeberangan Bakauheni (1980),
telah memberi manfaat secara langsung pada masyarakat Pematang Pasir untuk
meningkatkan perekonomian mereka seperti menjadi pedagang pengumpul
hasil tambak udang, bandeng, penyedia sarana produksi perikanan, dan
kebutuhan sehari-hari. Penurunan kualitas lingkungan lahan tambak dalam hal
ini untuk budidaya udang yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi, tanpa diikuti
dengan peningkatan sikap dan pemahaman masyarakat untuk pengelolaan
wilayah pesisirnya secara terpadu, suatu saat akan berdampak buruk pada kondisi
sosial ekonomi masyarakat Pematang Pasir.
Luas lahan tambak di Desa Pematang Pasir sekitar 88,83 ha yang terletak
di antara Parit I dan Parit II dan sering disebut dengan nama “Kukap”. Selain
itu ada juga warga yang memiliki tambak di wilayah Desa Berundung antara
Parit II dan Parit V.
Sebagian tambak Desa Pematang Pasir saat ini statusnya sebagai lahan
sawah (dalam tanggul penangkis Proyek Rawa Sragi II) dan sebagian yang berada
di luar tanggul penangkis sampai saat ini masih berstatus lahan Register 15
Hutan Produksi Terbatas yang dikuasai Dinas Kehutanan.
Produksi tambak di Desa Pematang Pasir rata-rata 2 kwintal/musim per
ha setiap kali panen dalam kondisi normal. Dalam satu tahun dapat dilakukan
tiga kali siklus. Keberhasilan tambak masih rendah, rata-rata hanya 30 % setiap
tahunnya.
Udang yang berasal dari petambak langsung ditampung oleh pembina
yang berperan juga sebagai penampung. Penampung ini bisa langsung mengirim
udang kepada eksportir di Jakarta atau di Jawa Timur (Banyuwangi). Selain
penampung besar seperti tersebut di atas, adapula pengumpul kecil yang
menampung udang dari pelele/bakul yang menjual udang hasil “njrupung”
atau “leles” yaitu udang sisa panen di tambak yang tertinggal. Para penampung
kecil ini kemudian menghubungi pengumpul besar/penampung baik yang ada
di desa maupun yang berada di Bandar Lampung. 4.3.3 Perdagangan
Sarana dan prasarana perdagangan yang terdapat di Desa Pematang Pasir
relatif cukup lengkap dan semakin berkembang sejalan dengan perkembangan
penduduk. Toko-toko penyedia kebutuhan harian, elektronik, bahan bangunan
maupun untuk sarana produksi pertanian dan perikanan yang terkonsentrasi
dan menjadi pusat keramaian terdapat di desa ini.
Lokasi pasar yang berada sebelah barat jalan raya, secara administratif
terletak di Desa Sidoasih, tetapi secara umum dikenal oleh masyarakat sebagai
pasar Pematang Pasir. Sebagai lokasi pemenuhan kebutuhan masyarakat dan
transaksi hasil pertanian dan perikanan, pasar Pematang Pasir memiliki tiga
hari pasaran, yaitu Minggu, Rabu, dan Jumat.
Hasil produksi budidaya perikanan tambak (bandeng dan udang)
merupakan komoditi perdagangan utama di desa ini. Pedagang pengumpul
hasil panen udang dan bandeng tidak hanya mengumpulkan hasil panen dari
desa sekitarnya, tetapi juga berasal dari Rawajitu dan Sumatera Selatan yang
selanjutnya dikirim ke Jakarta atau ke tempat lain di Pulau Jawa untuk pengolahan lebih lanjut sebagai komoditi ekspor.
Lingkungan
Wilayah timur Desa Pematang Pasir yang berbatasan dengan pantai adalah
wilayah pasang surut. Wilayah ini pada awal tebang digunakan oleh pembuka
lahan sebagai lahan sawah, namun karena adanya intrusi air laut, maka lahan tersebut
menjadi tidak sesuai untuk tanaman padi. Hal tersebut merupakan salah satu
penyebab banyak petani yang menelantarkan lahan sawahnya. Bahkan setelah
dibangun tanggul penangkis dan saluran pengeringan (drainase), salinitas masih
terlalu tinggi bagi tanaman padi, sehingga lahan sawah tersebut menjadi lahan
tidur. Kemudian setelah adanya pendatang dari Kronjo (Serang) yang melihat lahan
tidur tersebut lalu memanfaatkannya untuk empang ikan liar. Pendatang lain dari
Pati mulai memanfaatkan lahan ini sebagai tambak udang/bandeng.
V. ISU-ISU UTAMA
Erosi pantai yang terjadi di Desa Pematang Pasir dan sepanjang pantai
timur Propinsi Lampung merupakan akibat ketidaktahuan dan kurangnya
kesadaran masyarakat terhadap fungsi dan manfaat hutan mangrove. Kurangnya
pengawasan dan penegakan hukum dari pihak Dinas Kehutanan dan Dinas
terkait lainya memperparah keadaan di wilayah Pantai Timur. Ketidaktegasan
dalam pengawasan mengakibatkan penebang-penebang liar dari luar Desa
Pematang Pasir ikut membuka areal sabuk hijau untuk tambak dan selanjutnya
dijual karena harganya yang tinggi.
Para petambak yang memiliki lahan di wilayah sabuk hijau sebenarnya
mengetahui bahwa lahan tersebut milik negara, namun tidak adanya ketegasan
dari Dinas Kehutanan mengakibatkan mereka bersikap masa bodoh, selain itu
para petambak ini juga memperoleh surat garapan dari aparat desa.
Melihat hasil dan harga yang menjanjikan, maka makin banyak pendatang
yang menyewa lahan untuk membuat tambak budidaya udang windu.
Meningkatnya harga udang windu menarik begitu banyak orang untuk
memanfaatkan lahan sampai keluar batas tanggul penangkis yang seyogyanya
merupakan sabuk hijau (green belt). Pembabatan hutan mangrove ini tanpa
disadari telah mengakibatkan pantai menjadi rentan terhadap gerusan ombak,
sehingga terjadi erosi pantai yang parah dan telah memakan beberapa petak
tambak, terutama pada musim timur. Petambak yang tidak dapat meneruskan
usahanya, umumnya akan meninggalkan lahan yang telah rusak dengan cara
menjual kembali. Uang yang didapat akan digunakan untuk membuka lahan
baru di tempat lain, seperti Tulang Bawang sampai Jambi.
Sebab
sGelombang besar pada musim timur
sPenebangan mangrove, sehingga tidak ada lagi pelindung pantai alami
sPenggarapan tanah timbul tidak berwawasan lingkungan
Akibat
sPantai hilang dan asset masyarakat/tambak/sawah terancam
sRusaknya tambak dan hilangnya mata pencaharian petambak
sAncaman terhadap intrusi air laut terhadap sawah
ISU 2 : Adanya perubahan garis pantai akibat erosi dan sedimentasi
Sebab
s Konversi hutan mangrove di sempadan pantai menjadi tambak
s Pemanfaatan tanah timbul menjadi tambak secara tidak legal
Akibat
s Kualitas perairan buruk
s Ekosistem mangrove terganggu
s Erosi pantai semakin meningkat
s Hasil tambak menurun dan usaha budidaya tidak langgeng
s Hasil tangkapan nelayan berkurang
ISU 1 : Hilangnya jalur hijau (green belt) di wilayah pesisir
Sebab
s Konflik pemanfaatan lahan
s Kurang jelasnya pembagian tanggung jawab antara Pemda dan
masyarakat dalam pengelolaan wilayah pesisir
Akibat
s Rusaknya ekosistem pesisir
s Erosi pantai semakin meningkat
s Ketegangan antar masyarakat
s Kurangnya rasa memiliki dan tanggung jawab terhadap sumberdaya
yang ada
s Potensi sumberdaya pesisir belum dimanfaatkan secara optimal
Status Lahan
Berdasarkan hasil penelitian Akib dan Heryandi (2000) mengenai aspek
hukum pengelolaan wilayah pesisir, didapatkan bahwa sebagian masyarakat
Pematang Pasir mengetahui perlunya bukti kepemilikan tanah (sertifikat tanah),
akan tetapi pengetahuannya terhadap kebijakan peruntukan tanah masih sangat
rendah, demikian halnya pengetahuan masyarakat tentang pengaturan
pelestarian wilayah pesisir.
Secara vertikal, berbagai peraturan yang mengatur wilayah pesisir pada
tingkat nasional tidak bertentangan satu sama lain, tetapi secara substansial
ada beberapa ketidakjelasan instansi berwenang. Peraturan masing-masing sektor
terkait dalam pengelolaan wilayah pesisir belum selaras dengan Undang-Undang
No.22 tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah, yang di dalamnya telah
meletakkan wewenang pengelolaan sumberdaya alam dan tanggung jawab
pelestarian lingkungan.
Desa Pematang Pasir terletak pada daerah register 1, yang merupakan kawasan
hutan produksi terbatas di bawah Dinas Kehutanan. Untuk wilayah daratan
(pekarangan/persawahan) sebagian telah bersertifikat dan sebagian lagi belum
mendapat sertifikat. Untuk lahan tambak yang berasal dari sawah yang beralih
fungsi menjadi tambak, baik yang ada di dalam maupun di luar tanggul penangkis
proyek Rawa Sragi, sampai saat ini belum ada kejelasan status pemanfaatan dan
kepemilikan lahannya. Oleh karena itu belum ada sertifikat.
Dari 88 peraturan tingkat nasional dan 44 peraturan tingkat daerah yang
berkaitan dengan pegelolaan wilayah pesisir, hanya 20 peraturan yang mengatur
peran serta masyarakat. Peraturan dan kebijaksanaan yang berlaku saat ini pada
semua sektor pada umumnya dibuat dengan tanpa memperhatikan kondisi
lingkungan/sumberdaya alam dan kepentingan masyarakat sekitar, sehingga
dalam pelaksanaannya cenderung tidak efektif.
5.3 Pertanian
Isu utama yang ditemui di bidang pertanian adalah saat tanam yang tidak
serempak karena saling menunggu saat hujan turun dan tanah cukup basah
untuk tebar benih. Hal ini menimbulkan kesulitan dalam pengaturan air dan
pemberantasan hama. Petani sering pula mengalami keterlambatan tanam
akibat saling menunggu tersebut. Di Pematang Pasir belum ada aturan bersama
dalam satu hamparan sawah untuk menanam bersama-sama.
Saluran pengeringan rawa (Rawa Sragi) yang diharapkan petani dapat
membantu meningkatkan hasil pertanian, ternyata fungsinya kurang optimal. Saat
ini banyak pintu-pintu air yang rusak, sedangkan di saluran pengeringan terjadi
sedimentasi, dan hal tersebut mengakibatkan sawah tergenang pada musim hujan.
Masalah lain yang dihadapi oleh para petani adalah modal tanam dan
tingginya harga pupuk serta obat-obatan. Bagi petani di Desa Pematang Pasir
yang baru saja mengalami gagal panen dalam 3 (tiga) kali musim tanam, modal
tanam menjadi kendala utama bagi mereka mengingat hutang yang kian
menumpuk.
Ketergantungan petani di Desa Pematang Pasir terhadap air hujan
menyulitkan petani untuk menanam tanaman alternatif saat musim kemarau.
Umumnya para petani menjadi buruh bangunan atau buruh tambak untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya sampai musim hujan berikutnya. Bagi petani
yang menanam palawija selama musim kemarau, biasanya kesulitan yang ditemui
adalah menentukan tanaman yang tepat sehingga pada saat panen dapat
memperoleh harga yang memadai. Hal tersebut ditunjang pula oleh belum
adanya upaya untuk mencari informasi harga komoditas pertanian dan
menjualnya ke daerah yang harga jualnya lebih baik.
5.4 Perikanan
Setelah lebih dari 10 tahun membudidayakan tambak udang, saat ini para
petambak mulai merasakan bahwa produksi tambak sangat menurun. Bahkan
usaha tambak mereka sering terancam gagal baik karena kualitas air yang makin
rendah maupun makin sulitnya memberantas penyakit.
Pencemaran yang terjadi di Pantai Timur sudah cukup tinggi. Pencemaran
ini berasal dari pabrik-pabrik di daerah hulu yang membuang limbahnya di sungaisungai
yang bermuara di Pantai Timur, dan dari limbah buangan tambak sendiri.
Tambak semi intensif (tradisional plus) dan intensif yang dimiliki oleh masyarakat
di sepanjang Pantai Timur biasanya tidak memiliki sistem pengelolaan limbah yang
cukup baik. Air limbah dibuang begitu saja sehingga semua sisa bahan organik,
obat-obatan, dan penyakit mencemari air laut di sepanjang Pantai Timur. Hal ini
diperparah dengan hilangnya hutan mangrove yang berfungsi sebagai penyaring
atau filter bagi bahan-bahan buangan tersebut.
Saluran air masuk dan keluar yang menjadi satu ditambah dengan tidak
adanya aturan pembuangan dan pemasukan air di kalangan petambak makin
memperburuk kondisi pertambakan di wilayah ini.
Tingginya harga udang dan hutang kepada pembina mendorong petambak
untuk berproduksi lebih dari 2 (dua) siklus per tahun. Hal ini mengakibatkan
kesuburan lahan cepat menurun akibat tidak ada jeda yang memberikan
kesempatan penguraian berbagai bahan organik yang tersisa dan juga untuk
memutuskan siklus hidup penyakit.
Kendala yang dirasakan petambak dalam usaha budidaya udang, antara
lain: a) udang stres terserang penyakit; b) kesulitan mendapatkan air tawar; c)
pola pengaturan air yang masih semrawut; d) erosi pantai. Permasalahan tersebut
sangat berhubungan dengan kondisi alam dan lingkungan Pematang Pasir
sendiri. Desa Pematang Pasir tidak dilewati sungai besar yang mampu
menyediakan air tawar baik untuk pertanian maupun pertambakan, sehingga
pada saat musim kemarau, terjadi peningkatan salinitas secara tajam sebagai
akibat penguapan air laut (40 – 45 ppt). Kondisi tersebut mengakibatkan
udang mengalami stres yang membuatnya sangat rentan terserang penyakit.
Kondisi ini diperparah lagi oleh sistem saluran air masuk dan keluar yang
menyatu tanpa ada aturan antar petambak untuk menginformasikan kapan
saat memasukkan air dan kapan saat mengeluarkan air. Selain itu, ada kebiasaan
petambak untuk meletakkan lumpur organik dari dasar tambak ke atas tanggul.
Kedua hal tersebut sangat memudahkan terjadinya penularan penyakit dari
satu tambak ke tambak lainnya. Kedua hal tersebut merupakan kerugian dari
sistem tanam yang tidak serempak.
Hilangnya hutan mangrove juga menjadi salah satu penyebab menurunnya
kualitas air mengingat fungsi mangrove sebagai penyaring atau filter yang menyerap
bahan-bahan organik dan inorganik yang berasal dari tambak maupun sawah. Polusi
bahan organik dan inorganik yang berasal dari tambak ini terjadi secara
menyeluruh di sepanjang Pantai Timur, sehingga air yang berada di
sekitar pantai pun secara keseluruhan sudah tercemar. Dengan demikian,
petambak tradisional maupun semi intensif yang mengandalkan pasokan
air saat pasang surut hanya mendapatkan air berkualitas rendah yang
berasal dari buangan tambak.
Hilangnya hutan pantai ini juga mengakibatkan erosi pantai, yang
sejak tahun 1980-an telah sekitar 1 km lahan pantai Desa Pematang
Pasir hilang karena erosi ini. Beberapa tambak yang langsung berdekatan
dengan pantai hilang tergerus air. Adanya oknum yang menebang
mangrove dan membuka tanah timbul untuk tambak justru
mempercepat erosi pantai tersebut, bahkan merusak kembali hasil
reboisasi mangrove.
Selain pertambakan, usaha lain yang dilakukan oleh sebagian
kecil penduduk Desa Pematang Pasir adalah menangkap ikan.
Penangkap ikan ini dapat dibagi dalam dua kelompok yaitu penjala dan nelayan perahu.
Pada umumnya penjala tidak memiliki perahu dan mereka biasanya
menangkap ikan di saluran-saluran tambak maupun di tepi pantai dengan
menggunakan jala atau sudu. Nelayan perahu adalah penangkap ikan yang
menangkap ikan dengan perahu di perairan sekitar Desa Pematang Pasir dan
Pulau Mundu. Umumnya satu perahu digunakan bersama-sama oleh satu
kelompok nelayan. Alat tangkap yang digunakan umumnya pancing dan jala
tancap. Di Desa Pematang Pasir, jumlah penjala dan nelayan perahu ini masingmasing
sekitar 25 orang.
Masalah yang mereka hadapi saat ini adalah rendahnya hasil tangkapan
akibat hilangnya mangrove serta penangkapan ikan dengan bom dan trawl.
Selain itu sulitnya mengembangkan usaha dengan alat yang lebih baik dan
kurangnya informasi mengenai upaya-upaya pengembangan usaha yang ada
dan usaha alternatif lainnya.
5.5 Sosial
Bila diperhatikan, kendala yang dihadapi masyarakat dalam mengatasi
masalah-masalah desa adalah kurangnya kebersamaan dan komunikasi baik
antara aparat desa dan masyarakat maupun di antara masyarakat sendiri.
Musyawarah masyarakat untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi
kurang aktif. Masyarakat nampaknya kurang memiliki inisiatif untuk mencoba
mengatasi masalah dan sangat tergantung kepada perintah dari aparat desa
untuk menggerakkan mereka.
Kelompok-kelompok yang ada, baik kelompok keagamaan maupun
kelompok tani dan kelompok usaha lainnya masih belum berfungsi sebagai
sarana komunikasi untuk membahas berbagai masalah desa. Kelompok tani
maupun koperasi yang ada umumnya dibentuk untuk mendapatkan bantuan
dana dari luar. Akibatnya, masyarakat kehilangan kemampuan untuk berswadaya mengembangkan usaha dari dalam kwelompok sendiri.
Selama masa kegiatannya, Tim Pantai Timur (Proyek Pesisir dan mitra
kerja LSM Yasadhana) dan Pemda Lampung Selatan telah mencoba menangani
beberapa masalah yang terjadi di Desa Pematang Pasir. Masalah-masalah yang
telah ditangani tersebut antara lain:
6.1. Degradasi Lingkungan Pantai
Terjadinya abrasi dan sedimentasi di wilayah pantai Desa Pematang Pasir
telah mengakibatkan tingginya tingkat kehilangan lahan tambak. Untuk
mengatasi masalah ini beberapa cara telah dilaksanakan antara lain dengan
melaksanakan studi banding, rehabilitasi mangrove di areal pantai, dan
pembuatan rancangan peraturan desa tentang pengelolaan kawasan pantai.
6.1.1 Studi Banding
Kegiatan ini dilaksanakan pada bulan Januari 2000 yang diikuti oleh 30
orang, yang terdiri dari pemerintah Kabupaten Lampung Selatan dan petambak
dari 3 desa (Sumber Nadi, Pematang Pasir, dan Berundung). Lokasi kegiatan
dipilih di wilayah Pantai Utara Jawa yang memiliki kondisi alam dan
permasalahan yang hampir sama dengan kondisi Pantai Timur Lampung. Lokasi
studi banding antara lain Indramayu, Pemalang, dan Banyuwangi.
Tujuan kegiatan ini adalah untuk membuka wawasan peserta mengenai
permasalahan dan penanganan kerusakan lingkungan akibat cara pemanfaatan
yang kurang bertanggung jawab (Wiryawan, Susanto, dan Khazali, 2000).
6.1.2 Rehabilitasi Mangrove
Rehabilitasi mangrove ini diawali dari keinginan petambak yang memiliki
lahan dekat pantai. Kegiatan studi banding nampaknya memunculkan
keinginan untuk menanam kembali mangrove di wilayah pantai desa. Masalah
yang harus dihadapi untuk penanaman mangrove tersebut adalah adanya
tambak-tambak yang berada tepat di tepi pantai. Untuk itu, perlu dilaksanakan
penentuan batas lahan tambak yang dapat direlakan oleh petambak untuk
ditanami bakau.
Tim Pantai Timur mencoba membantu para petambak ini untuk
menentukan luas areal pantai yang akan ditanami bakau. Untuk pelaksanaan
kegiatan ini dibentuk panitia kecil sebagai penanggung jawab kegiatan sekaligus
forum diskusi. Panitia ini melakukan penentuan areal dan secara musyawarah
meminta kerelaan para petambak yang lahannya berada tepat di tepi pantai
untuk melepaskan sebagian lahannya. Setelah areal tanam ditentukan maka
panitia bekerja sama dengan kepala desa membuat patok batas areal penanaman.
Setelah penentuan areal, kemudian panitia membuat satu proposal yang
ditujukan kepada Dinas Kehutanan untuk mendapatkan bantuan bibit dan
sarana penanaman mangrove.
Kendala yang dihadapi dalam kegiatan ini adalah pola pelaksanaan proyek
Dinas Kehutanan yang masih belum bisa menyerahkan sebagian tanggung
jawab kepada masyarakat. Seluruh kegiatan dikendalikan oleh Dinas Kehutanan
sehingga swadaya yang muncul dari masyarakat justru terhambat dengan adanya
pemberian upah harian. Akibatnya masyarakat kurang bertanggung jawab
atas hasil reboisasi mangrove yang dilaksanakan.
Rancangan Peraturan Desa
Bersamaan dengan perencanaan kegiatan penanaman mangrove,
permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan mangrove adalah masalah
pemeliharaan dan pengawasan. Selama ini pengawasan dan penegakan hukum
untuk kawasan lindung bisa dikatakan tidak ada. Sementara itu sosialisasi
peraturan daerah mengenai kawasan sempadan pantai masih belum banyak
dimengerti oleh masyarakat sehingga sebagian besar petambak sangat
mengharapkan adanya peraturan yang dapat dipakai sebagai pegangan dalam
pengelolaan lingkungan.
Tim Pantai Timur mencoba untuk mewujudkan aspirasi para petambak
dengan membantu membuat rancangan peraturan desa sesuai kebutuhan dan
kondisi di Pematang Pasir. Dalam kegiatan ini Tim Pantai Timur dibantu oleh
praktisi hukum Universitas Lampung sehingga konsep peraturan desa yang
dibuat oleh panitia penanaman mangrove dapat diterjemahkan ke dalam bahasa
hukum (Lampiran V).
Kendala yang dihadapi dalam kegiatan ini adalah adanya suksesi kepala
desa sehingga rancangan peraturan desa tersebut belum dapat ditetapkan secara
resmi. Selain itu masih perlu dilakukan sosialisasi rancangan peraturan desa
ini kepada seluruh masyarakat sehingga rancangan peraturan desa dapat diterima
dan dilaksanakan oleh seluruh masyarakat. Untuk kelanjutan kegiatan ini, kerja
sama antara panitia perancang peraturan pengelolaan mangrove dan aparat
desa perlu diteruskan sehingga pengawasan dan pengelolaan wilayah pesisir
Desa Pematang Pasir dapat dilaksanakan sendiri oleh masyarakat setempat.
6.2. Sosial Ekonomi Masyarakat
6.2.1 Profil Desa
Pembuatan profil desa ini dilaksanakan dengan tujuan untuk memperoleh
gambaran mengenai situasi dan kondisi Desa Pematang Pasir dari berbagai segi.
Dalam proses pembuatan profil desa, dilakukan kegiatan pengumpulan data seperti
data kependudukan, sosial ekonomi masyarakat, serta masalah-masalah lain yang
muncul di masyarakat. Pengumpulan data dilaksanakan melalui survei dengan
menggunakan kuesioner maupun wawancara langsung dengan masyarakat.
Profil Desa ini diharapkan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat desa sendiri
sebagai dasar untuk membuat program desa sesuai dengan kebutuhannya.
6.2.2 Kelompok Swadaya Masyarakat
Masalah sosial yang dihadapi oleh masyarakat Desa Pematang Pasir ini
adalah kurangnya komunikasi antar masyarakat maupun antara masyarakat dan
pamong desa. Sedangkan masalah ekonomi adalah tingginya ketergantungan
masyarakat untuk memperoleh modal melalui bantuan dari luar.
Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut, Tim Pantai Timur mencoba
untuk berbagi informasi dengan mengadakan Pelatihan Dasar mengenai
Kelompok Swadaya Masyarakat. Pelatihan ini memberikan informasi mengenai
cara pengelolaan suatu kelompok sebagai sarana komunikasi antar anggota
dan sebagai sarana untuk meningkatkan keswadayaan melalui kegiatan simpan
pinjam.
Pelatihan dasar tersebut nampaknya mendapat sambutan yang cukup baik
dengan terbentuknya KSM Pasir Makmur pada tanggal 4 Mei 2000. Tujuan
utama pendirian KSM Pasir Makmur adalah untuk meningkatkan kesejahteraan
anggota pada khususnya dan mendorong upaya-upaya pembangunan desa pada
umumnya. Tujuan lain secara lengkap terdapat dalam Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga KSM Pasir Makmur.
Pada awal pembentukan, KSM Pasir Makmur mempunyai anggota sebanyak
26 orang dengan aset sebesar Rp. 728.000,- (tujuh ratus dua puluh delapan ribu
rupiah) yang berasal dari simpanan wajib dan simpanan sukarela. Hingga saat ini
KSM Pasir Makmur telah memiliki anggota sebanyak 55 orang dengan aset sebesar
Rp. 5.016.700,- (lima juta enam belas ribu tujuh ratus rupiah) yang berasal dari
simpanan anggota dan jasa pelayanan. Seluruh anggota telah dapat menikmati
pelayanan peminjaman. KSM ini secara resmi telah diketahui keberadaannya
oleh Desa dan Kecamatan, dengan ditandatanganinya AD/ART lembaga ini oleh
Camat Pembantu Ketapang dan Kepala Desa Pematang Pasir.
Untuk pengembangan kegiatan di masa datang, KSM Pasir Makmur telah
memiliki program jangka pendek, menengah, dan panjang. Program jangka
pendek KSM Pasir Makmur adalah melaksanakan penguatan ke dalam lembaga.
Kegiatan yang dilakukan antara lain dengan memberikan pengertian dan
wawasan mengenai dasar-dasar KSM pada setiap anggota baru dan masyarakat
umum yang tertarik dengan kegiatan KSM. Program jangka menengah KSM
Pasir Makmur adalah perluasan jaringan KSM dan meningkatkan kesadaran
masyarakat mengenai lingkungan dan pentingnya pendidikan formal maupun
informal. Untuk program jangka panjang secara umum KSM akan mencoba
menanamkan keswadayaan dan kegotongroyongan baik kepada anggota
maupun masyarakat umum serta mencoba untuk membantu dalam proses
pembangunan desa. Kegiatan konkrit yang akan dilaksanakan adalah
memberikan beasiswa kepada putra-putri anggota KSM yang berprestasi
khususnya bagi anggota yang kurang mampu. Kegiatan ini akan dilaksanakan
bila KSM sudah cukup kuat. Diharapkan KSM ini dapat menjadi sarana
komunikasi antara warga dan pamong desa dalam membantu kelancaran pembangunan Desa Pematang Pasir.
Pendidikan Lingkungan
Hilangnya hutan mangrove dan terjadinya abrasi di wilayah pantai timur
disebabkan oleh masih kurangnya pemahaman mengenai ekosistem hutan mangrove
dan manfaatnya bagi kehidupan manusia dan lingkungannya. Untuk
mengatasi masalah ini dilaksanakan kegiatan pendidikan lingkungan yang diberikan
kepada siswa dan guru tingkat SLTP di wilayah Kecamatan Penengahan bekerja
sama dengan Gerakan Pramuka Kwartir cabang Lampung Selatan.
Kegiatan pendidikan lingkungan ini dilakukan dengan mengadakan
perkemahan untuk mengisi liburan siswa. Dalam perkemahan ini dilaksanakan
kegiatan mencari jejak dimana siswa diminta untuk mengikuti satu rute menyusur
pantai dan diberi tugas untuk melakukan pengamatan biota dan kondisi
lingkungan di sepanjang rute. Sebelum kegiatan mencari jejak ini siswa dan
guru pendampingnya diberikan penjelasan mengenai ekosistem mangrove dan
manfaatnya bagi lingkungan dan kehidupan manusia. Dengan melihat langsung
kondisi lingkungan diharapkan dapat mempercepat pemahaman siswa dan guru
terhadap ekosistem mangrove dan manfaatnya bagi kelestarian lingkungan
kehidupan mereka sendiri. Diharapkan kegiatan ini dapat berlanjut di masa
yang akan datang dan dapat dijadikan sebagai bahan kurikulum muatan lokal.
6.3. Pengelolaan Tambak Ramah Lingkungan
Masalah lain yang sangat berkaitan dengan pengelolaan wilayah pesisir
adalah pengelolaan tambak. Pola pengelolaan yang saat ini dilakukan oleh
para petambak masih kurang memperhatikan dampak penggunaan obat-obatan
terhadap kesuburan lahan dan lingkungan hidup di sekitarnya yang dapat
berakibat buruk pada keberlanjutan usahanya di masa yang akan datang.
Untuk mengatasi permasalahan ini Proyek Pesisir mencoba mempelajari
kondisi-kondisi yang umumnya dihadapi oleh petambak dengan membuat
tambak percobaan. Tambak percobaan dengan luas 3 (tiga) ha dipinjam dari
Bapak Santoso, petambak lokal Desa Pematang Pasir.
Tujuan kegiatan ini adalah untuk membuat satu model tambak ramah
lingkungan yang dapat digunakan sebagai sarana belajar bersama bagi para petambak
mengenai proses-proses yang terjadi selama masa pemeliharaan udang.
Upaya-upaya yang dilakukan dalam pengelolaan tambak percobaan ini
disesuaikan dengan kondisi alam dan pola budidaya tradisional plus yang umum
dilakukan oleh petambak di Desa Pematang Pasir. Sejak awal proses pengolahan
lahan dan selama masa pemeliharaan dipelajari pola yang biasa dilakukan oleh
petambak sekaligus dilakukan upaya perbaikan dalam proses sehingga dapat
diketahui penyebab kegagalan dan cara penanganannya.
Dalam pengelolaan tambak ramah lingkungan ini diupayakan untuk
mengurangi penggunaan bahan-bahan kimia yang diperkirakan dapat
menurunkan kesuburan lahan. Selain itu diupayakan pula pengelolaan kualitas
air sesuai kondisi setempat dimana tidak tersedia sumber air tawar dan salinitas
yang tinggi. Kegagalan dan keberhasilan dalam pengelolaan tambak percobaan
ini diharapkan dapat menjadi bahan tukar pengalaman dengan para petambak
Rabu, 02 Februari 2011
LUKISAN RAGAM BUDAYA INDONESIA
Langganan:
Postingan (Atom)